Kedua, depresiasi rupiah akibat arus modal keluar. LPEM UI menilai, pada pertengahan Oktober dan pertengahan November 2024, Indonesia mengalami arus modal keluar bersih sebesar US$1,46 miliar dari pasar keuangannya yang terdiri dari US$0,58 miliar dari pasar obligasi dan US$0,88 miliar dari pasar saham.
Arus keluar ini terutama didorong oleh meningkatnya ketegangan geopolitik dan ketidakpastian yang meningkat terkait pemilihan presiden Amerika Serikat (AS).
Setelah hasil Pilpres AS keluar, dengan janji-janji kebijakan pro-bisnis dari Presiden Terpilih Donald Trump, banyak investor yang memindahkan aset mereka dari pasar negara berkembang.
Akibatnya, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia naik, di mana imbal hasil obligasi 10 tahun naik dari 6,73% menjadi 6,94% dan imbal hasil obligasi 1 tahun naik dari 6,2% menjadi 6,34% pada periode yang sama.
Arus modal keluar antara pertengahan Oktober dan pertengahan November 2024 menyebabkan depresiasi rupiah sebesar 1,38% secara bulanan atau month to month, melemah dari Rp15.555 per dolar AS pada pertengahan Oktober menjadi Rp15.770 per dolar AS pada pertengahan November.
Sepanjang tahun berjalan atau year-to-date, rupiah menunjukkan kinerja moderat dibandingkan dengan mata uang negara lain, menunjukkan ketahanan yang relatif lebih kuat dibandingkan dengan rubel dari Rusia, lira dari Turki, real dari Brasil, dan peso dari Argentina, yang seluruhnya mengalami depresiasi dua digit. Per 15 November 2024, rupiah terdepresiasi sebesar 3,26% (ytd).
"Menimbang kondisi terkini dari depresiasi rupiah dan belum adanya tekanan inflasi, kami berpandangan Bank Indonesia perlu menahan suku bunga acuannya di 6% pada RDG mendatang, untuk memastikan bahwa penyesuaian suku bunga acuan di masa mendatang dilakukan pada waktu yang tepat untuk menjaga stabilitas harga dan memberikan ruang untuk penurunan suku bunga apabila diperlukan di masa mendatang."
(dov/lav)