Tekanan yang dialami rupiah membesar dengan cepat ketika hasil Pilpres AS memenangkan Donald Trump yang mengancam trajektori pemangkasan bunga acuan Federal Reserve ke depan.
Indeks dolar AS sempat menembus 106,7, tertinggi dalam setahun terakhir. Namun, gerak dolar kini cenderung lebih kalem meski masih di kisaran 106,17 pada perdagangan Rabu pagi ini.
Kembali kalemnya dolar AS, memberi ruang penguatan bagi rupiah yang mencatat kenaikan nilai dalam tiga hari perdagangan terakhir. Selain itu, pasar surat utang RI juga kembali kalem, dengan selisih imbal hasil surat utang RI dengan AS, kini beranjak lagi ke kisaran 247 bps setelah sebelumnya sempat menyempit di 230 bps.
Pada periode ketika indeks dolar AS melambung dan menekan mata uang lawannya, BI diduga telah melakukan intervensi besar-besaran untuk memperlambat tekanan pelemahan pada rupiah. Dalam konteks itu, menjadi hal logis bila keputusan BI Rate hari ini akan segaris.
"Secara historis, kebijakan suku bunga acuan BI berjalan seiring strategi intervensi yang dilakukan. Pemotongan bunga acuan bisa memperbarui tekanan depresiasi yang akan membuat tindakan [intervensi] BI di pasar valas pada minggu lalu menjadi tidak efektif," kata Satria Sambijantoro, Head of Research Bahana Sekuritas yang memprediksi BI rate masih akan ditahan lagi.
Namun, tak semua ekonom sependapat. Hampir seperempat dari 36 institusi yang mengeluarkan prediksi BI rate bulan ini, memperkirakan Perry Warjiyo dan rekan akan memangkas bunga acuan sebesar 25 bps.
Pemotongan suku bunga acuan terutama dibutuhkan untuk mendukung pemulihan ekonomi domestik yang terjebak kelesuan.
Daya beli masyarakat tertekan, terindikasi oleh kinerja konsumsi rumah tangga yang menyentuh level terendah setahun terakhir pada kuartal III lalu. Konsumsi rumah tangga yang melemah telah memperlambat laju pertumbuhan ekonomi RI menjadi cuma 4,95% pada kuartal terakhir.
Selain itu, inflasi juga sudah menyentuh 1,71%, level terendah sejak 2021 dan sudah jauh di bawah median target inflasi BI tahun ini di 2,5%.
BI dinilai memiliki ruang untuk penurunan BI rate setelah Federal Reserve, bank sentral AS, telah memangkas bunga acuan sebanyak 75 bps sejak September sedangkan bunga acuan di Indonesia baru turun 25 bps.
Pelemahan rupiah yang dramatis pada November dinilai masih terkendali karena belum menyentuh level psikologis di Rp16.000/US$. Selain itu, dibandingkan mata uang negara tetangga, pelemahan rupiah juga terbilang lebih kecil.
"Ada ruang untuk menurunkan BI rate selama rupiah tak sampai menyentuh Rp16.000/US$ lebih," kata Chief Economist PT Bank Central Asia Tbk David Sumual, yang memprediksi bunga acuan akan dipangkas sebesar 25 bps.
Penurunan BI rate juga bisa menjadi sinyal bagi sektor riil agar lebih bergairah. Keketatan likuiditas yang masih melanda perbankan bisa diakhiri sehingga bank bisa leluasa menyalurkan kredit ke sektor usaha. "Ekonomi kita akan sulit mengejar pertumbuhan dengan bunga acuan saat ini yang tinggi," kata Eko Listiyanto, Ekonom dan Direktur Pengembangan Big Data INDEF.
Cadangan Devisa Rekor
Keputusan BI rate bulan ini akan diiringi kondisi cadangan devisa yang melimpah. Pada akhir Oktober lalu, nilai cadangan devisa RI kembali memperbarui rekor tertinggi sepanjang masa sebesar US$ 151,2 miliar.
Rekor cadangan devisa itu bahkan terjadi ketika rupiah terperosok pelemahan hingga 3,7% pada periode yang sama.
Yang terbaru, Pemerintah RI baru saja menyelesaikan lelang sukuk global yang laris diserbu dan menarik likuiditas segar hasil penjualan SBSN senilai US$2,75 miliar. Nilai penjualan itu bisa menambah amunisi cadangan devisa yang berguna untuk mendukung stabilisasi rupiah.
Selain itu, menilik data historis, tren rupiah di akhir tahun biasanya menguat. Dalam lima tahun terakhir, rupiah selalu menguat setiap akhir tahun dengan kenaikan nilai rata-rata 1,2% tiap Desember.
Penguatan rupiah disokong oleh tren musiman arus masuk modal asing seiring langkah window dressing para pengelola dana global.
Posisi indeks dolar AS (DXY) juga secara teknikal sudah jenuh beli dan berpotensi merosot tajam. Secara historis, dalam tujuh tahun terakhir, indeks dolar AS selalu melemah setiap Desember dengan rata-rata pelemahan 1,3%.
Selain itu, bila memasukkan faktor Trump, terlihat bila tekanan yang dialami oleh rupiah sifatnya temporer.
Ketika Trump pertama kali menjadi Presiden AS dalam Pilpres November 2016, rupiah saat itu langsung tergerus hampir 4% dalam rentang 20 hari saja akibat lonjakan dolar AS, menyentuh level terlemah di Rp13.585/US$.
Namun, begitu Trump dilantik pada Januari 2017, rupiah berangsur menguat ke level Rp13.351/US$ pada bulan itu. Pada tahun itu, indeks dolar AS melemah selama enam bulan beruntun hingga memberikan ruang penguatan pada rupiah yang hanya mencatat pelemahan 0,70% sepanjang tahun tersebut.
Kebijakan Trump
Para ekonom Bloomberg Economics memperkirakan, kebijakan tarif impor Trump kemungkinan baru akan keluar pada akhir 2025 atau awal 2026. Kebijakan itu dinilai berpotensi memantik re-inflasi AS yang akan menghalangi laju penurunan bunga acuan The Fed.
"Secara keseluruhan, negara Asia Tenggara yang ekonominya digerakkan oleh domestik seperti Filipina dan Indonesia seharusnya bisa bertahan lebih baik dalam jangka panjang. Namun, mereka tidak akan kebal terhadap volatilitas mata uang dan ancaman arus keluar modal," kata Ekonom Bloomberg Economics Tamara Mast Henderson dalam risetnya.
Dengan kata lain, perekonomian RI kemungkinan masih akan bertahan menghadapi risiko perang dagang 2.0, hanya bila motor pertumbuhan domestik, yakni konsumsi rumah tangga tetap kuat.
Namun, bila motor utama juga ambruk, dampak kebijakan Trump bisa semakin keras memukul ekonomi Indonesia ke depan.
(rui/aji)