Perdebatannya, kata Misbakhun, berjalan panjang dan subtansial. Saat itu, Misbakhun mengaku menjadi salah satu yang menyampaikan bahwa perlu kajian yang sangat mendalam dan kondisional pada saat sebelum diterapkan, ihwal kenaikan PPN menjadi 12% tersebut.
"Jadi mandatori undang-undang ini, apakah kita tetap jalankan sesuai dengan kesepakatan politik yang diketuk saat itu, yaitu 1 Januari 2025 dan 1 April pada saat itu 2022 kan yang 11%, itu akan kita jalankan ini sejauh itu atau tidak?," ujarnya.
"Sekarang ada situasi yang tidak sama dengan kondisi 2022, yaitu daya beli yang menurun. Kita kembalikan kepada pemerintah, karena Undang-Undang itu sudah disepakati dan tinggal pemerintah, apakah kemudian mempertimbangkan kondisi daya beli yang menurun dan penurunan kelas menengah."
Sekadar catatan, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah kelas menengah turun ke 47,85 juta penduduk (17,13%) pada 2024 dari 57,33 juta penduduk (21,45%) pada 2019.
Bila pemerintah tidak menjadikan kondisi daya beli melemah dan penurunan kelas menengah sebagai pertimbangan, kata Misbakhun, berarti pemerintah masih beranggapan kondisi ekonomi masih stabil.
Sementara terkait pembatalan kenaikan PPN menjadi 12%, Misbakhun mengatakan, menyerahkan kepada pemerintah melalui berbagai mekanisme.
"Mekanisme konstitusi macam-macam. Kita punya exit konstitusinya banyak. Jadi jangan seakan-akan dipatok ini, dipatok ini," ujarnya.
Sebagai informasi, Badan Legislatif (Baleg) DPR RI memutuskan 41 Rancangan Undang-Undang (RUU) akan masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2025, salah satunya RUU tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) yang menjadi usulan Komisi XI.
(dov/lav)