Kemudian, Presiden ke-7 Joko Widodo menerbitkan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan pada 29 Oktober 2021. Beleid itu menggantikan UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan.
UU HPP terdiri atas sembilan bab yang memiliki enam ruang lingkup pengaturan, yakni Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Program Pengungkapan Sukarela (PPS), Pajak Karbon, serta Cukai. Atas masing-masing ruang lingkup memiliki waktu pemberlakuan kebijakan yang berbeda.
Perubahan UU PPN, tepatnya kenaikan tarif dari 10% menjadi 11% yang berlaku mulai 1 April 2022. Kemudian meningkat lagi menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025.
Selain itu, perubahan UU PPh berlaku mulai 2022, perubahan UU KUP berlaku mulai tanggal diundangkan, dan kebijakan PPS berlaku 1 Januari 2022 - 30 Juni 2022. Pajak karbon mulai berlaku 1 April 2022, dan perubahan UU Cukai berlaku mulai tanggal diundangkan.
Pemerintahan Jokowi pada masanya mengklaim bahwa UU HPP disusun dengan tujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian. Maka dari itu perlu strategi konsolidasi fiskal yang berfokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak.
Keputusan kemudian ditetapkan, yakni penerapan kebijakan peningkatan kinerja penerimaan pajak, reformasi administrasi perpajakan, peningkatan basis perpajakan, penciptaan sistem perpajakan, serta peningkatan kepatuhan sukarela wajib pajak.
Judicial Review UU HPP
Pada 2022, Muhtar Said, Dosen Tata Negara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, mengajukan uji formal atau judicial review UU HPP ke Mahkamah Konstitusi (MK). Muhtar menilai UU tersebut cacat formal, sehingga harus diperbaiki maksimal dua tahun sejak MK memutuskannya.
Dalam permohonannya, Muhtar menyatakan pembentukan UU HPP bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan diucapkan'.
Selanjutnya, seorang warga bernama Priyanto juga menggugat UU HPP ke MK dengan alasan yang sama, cacat formal.
Dalam petitum permohonan judicial review disebutkan, pembentukan UU HPP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
Alasan Priyanto karena UU HHP tidak memenuhi standar baku dan bertentangan dengan UUD 1945. UU HHP mengandung makna UU baru. Namun, dalam batang tubuhnya, terdapat perubahan UU terkait. Oleh sebab itu, format di atas bertentangan dengan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Menurut Priyanto, UU HHP tidak hanya mengatur hal baru, tetapi juga melakukan perubahan terhadap beberapa ketentuan dalam UU KUP, UU PPh, UU PPN, UU Cukai.
Namun, kedua Warga Negara Indonesia (WNI) itu harus menelan pil pahit karena permohonan mereka ditolak oleh MK.
Sinyal Mengambang Pemberlakuan PPN 12%: Tergantung Pemerintah Baru
Dalam periode pemerintahan Jokowi, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan kenaikan tarif PPN akan berlanjut sebab masyarakat telah memilih pemerintahan baru dengan program berkelanjutan.
“Masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan, pilihannya adalah keberlanjutan. Tentu keberlanjutan program yang dicanangkan pemerintah dilanjutkan termasuk kebijakan PPN,” ujar Airlangga di kantornya, Jumat (8/3/2024).
Dalam perkembangannya, pemerintahan lama menyatakan bahwa target penerimaan negara yang tercantum dalam Rancangan Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) 2025 sudah memperhitungkan kenaikan PPN.
Tak selang beberapa lama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan kenaikan PPN menjadi 12% diserahkan pada pemerintahan baru, yakni pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
“Mengenai PPN itu nanti kami serahkan pemerintahan baru,” ujar Sri Mulyani di kompleks DPR RI, Senin (21/5/2024).
Penjelasan DPR Berbeda
Di sisi lain, Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah menyatakan target penerimaan pada RUU APBN 2025 yang telah disepakati pihaknya belum mempertimbangkan kenaikan PPN 12%.
“Belum. 2024 di antaranya itu tidak termasuk PPN 12%, dari 11% ke 12%,” tuturnya saat ditemui di Kompleks Parlemen, Selasa (17/9/2024).
Said menegaskan saat ini belum terdapat diskusi terkait kenaikan tarif PPN tersebut, sebab kebijakan tersebut akan berlaku pada tahun depan dan saat ini Presiden terpilih masih belum menjabat.
Namun pada Kamis (19/9/2024), Said meluruskan pernyataannya, ia menegaskan bahwa Banggar dalam memutuskan besaran pendapatan atau penerimaan negara tidak berlandaskan asumsi tarif PPN sebesar 11% maupun 12%.
Melainkan lebih mempertimbangkan upaya atau best effort yang dapat dilakukan pemerintah pada tahun mendatang.
“Asumsinya bukan pakai 11% atau 12%, bahwa ada best effort yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini penerimaan perpajakan yang Rp2.490 triliun,” kata Said saat ditemui di Kompleks Parlemen, Kamis (19/9/2024).
Meskipun begitu, ia menyarankan keputusan menaikkan atau tidak menaikkan tarif PPN menjadi 12% sebaiknya dibahas kembali pada kuartal I-2025.
Said menyatakan pemerintah perlu memperhitungkan kemampuan daya beli masyarakat pada tahun depan, sekaligus menelisik dampak dari kenaikan PPN menjadi 12% terhadap pendapatan tenaga kerja.
Sri Mulyani Beri Sinyal PPN 12% Tetap Berlaku 2025
Sri Mulyani menyatakan kebijakan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) sudah dilakukan pembahasan bersama DPR utamanya Komisi XI.
Ia menegaskan, ketika kebijakan tersebut akan dilakukan maka perlu dipersiapkan sedemikian rupa agar dapat dijalankan.
“Jadi kami di sini sudah dibahas dengan bapak-ibu sekalian, sudah ada UU-nya, kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan, tetapi dengan penjelasan yang baik,” ucap Sri Mulyani dalam rapat kerja itu.
Kebijakan PPN 12% Bisa Ditunda
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto bisa menunda kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% yang akan mulai berlaku pada 2025, melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP).
Hal itu termaktub dalam Pasal 7 Ayat 4 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie OFP mengonfirmasi pemerintah bisa mengusulkan perubahan aturan terkait kenaikan tarif PPN tersebut kepada DPR RI. Kemudian, setelah wakil rakyat menyetujui perubahan kebijakan tersebut, maka hasil kesepakatan kedua pihak itu harus disahkan melalui penerbitan PP oleh pemerintah.
“Usulan pemerintah, disetujui DPR, pengaturan lebih lanjut oleh pemerintah. Betul [melalui PP],” ujar Dolfie kepada Bloomberg Technoz, Selasa (19/11/2024).
(lav)