Logo Bloomberg Technoz

Selain itu, Yayan berpendapat skema BLT tidak efektif karena data yang digunakan cenderung tidak akurat, sehingga terdapat risiko penyaluran tidak tepat sasaran yang besar.

“Jadi dengan kondisi saat ini, alangkah baiknya pemerintah mempertimbangkan kembali terhadap penghapusan subsidi,” tuturnya.

Di Bawah Keekonomian 

Di sisi lain, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengungkapkan harga JBT Solar bersubsidi yang dijual di pasaran saat ini masih jauh di bawah harga keekonomian.

Kepala BPH Migas Erika Retnowati menjelaskan harga Solar bersubsidi saat ini masih dibanderol sebesar Rp6.800/liter. Sementara itu, harga BBM diesel nonsubsidi lainnya telah berada di atas Rp10.000 ribu/liter.

Untuk mengurangi gap antara harga keekonomian tersebut, PT Pertamina (Persero) selaku penyalur BBM bersubsidi juga mendapatkan dana kompensasi. Pasalnya, subsidi Solar yang disepakati di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya sebesar Rp 1.000/liter.

"Kalau Solar sudah ditetapkan di APBN satu liter Rp1.000. Itu tentu enggak bisa nutup keekonomian selisih dengan harga keekonomian," kata Erika dalam rapat bersama Komisi XII, Senin (18/11/2024).

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bahkan sebelumnya sempat mengusulkan kenaikan besaran subsidi tetap Solar di rentang Rp1.000/liter hingga Rp3.000/liter dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025.

Adapun, usulan tersebut mengalami kenaikan dari sebelumnya hanya sebesar Rp1.000/liter hingga Mei 2024.

Arifin Tasrif, yang saat itu masih menjadi Menteri ESDM, mengatakan kenaikan subsidi Solar perlu dilakukan karena harga keekonomian minyak Solar mencapai Rp12.100/liter sedangkan harga jual eceran hanya sebesar Rp6.800/liter.

Menurutnya, subsidi tetap sebesar Rp1.000/liter hingga Mei 2024 menyebabkan besaran kompensasi yang dialokasikan sampai dengan Mei 2024 adalah Rp4.496/liter.

“Dalam RAPBN 2025, kami mengusulkan subsidi tetap untuk minyak Solar sebesar Rp1.000—Rp3.000/liter,” ujar Arifin, awal Juni.

Dalam kaitan itu, Arifin menggarisbawahi Solar masih banyak digunakan untuk transportasi darat, transportasi laut, kereta api, usaha perikanan, usaha pertanian, usaha mikro, dan pelayanan umum; sehingga diperlukan upaya menjaga harga jual eceran Solar.

Sementara itu, Pertamina melalui PT Pertamina Patra Niaga juga sempat meminta pemerintah untuk mengkaji ulang ihwal besaran subsidi yang diberikan kepada JBT Solar.

Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan tidak menampik pemerintah memang memberikan subsidi Rp1.000/liter terhadap Solar. Namun, perseroan mengaku tetap harus merogoh kocek sebesar Rp5.000/liter terhadap JBT tersebut.

“Terkait dengan JBT Solar, kami juga sedikit ingin sampaikan dan permohonan dukungan untuk melakukan peninjauan terhadap subsidi. Saat ini angka subsidi yang ada di formula besarannya Rp1.000/liter. Mohon untuk dapat dukungan untuk melakukan penghitungan ulang karena angka kompensasinya mencapai lebih kurang Rp5.000/liter,” ujarnya dalam agenda rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, akhir Mei.

(mfd/wdh)

No more pages