Utak-atik skema subsidi BBM dan listrik juga dinilai makin membebani mayoritas masyarakat Indonesia ke depan, yang sudah terancam beban-beban lain mulai dari kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% per 1 Januari 2025, tarif BPJS Kesehatan, hingga isu kewajiban iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang akan diberlakukan bagi seluruh pekerja.
Selain itu, skema BLT sebagai pengganti subsidi BBM dinilai tidak efektif karena data yang digunakan cenderung tidak akurat,. Walhasil, risiko penyaluran bantuan tidak tepat sasaran atau meleset dari target kembali menganga.
“Jadi mungkin kalau misalkan ingin lebih baik nantilah, kalau misalkan momennya subsidi itu bisa dicabut ya. Jadi dengan kondisi saat ini, alangkah baiknya pemerintah mempertimbangkan kembali terhadap penghapusan subsidi,” tuturnya.
Alternatif Subsidi
Namun, dari tiga opsi yang dipaparkan pemerintah, Yayan setuju dengan subsidi berbasis kuota yang akan diterapkan di wilayah tertentu ketimbang dua opsi lainnya yakni mengalihkan subsidi menjadi BLT dan mempertahankan subsidi berbasis barang atau kuota untuk fasilitas umum untuk menahan inflasi.
Di sisi lain, pemerintah juga harus memiliki energi alternatif seperti bioetanol atau biofuel untuk menekan konsumsi bahan bakar minyak.
Dengan tidak mengandalkan subsidi, Indonesia dinilainya bisa lepas dari aspek keterjangkauan biaya investasi energi, mulai dari biaya eksplorasi, produksi dan distribusi, hingga keterjangkauan konsumen terhadap harga energi. Dengan demikian, alternatif energi tersebut dapat menyubstitusi tanpa adanya bantuan dari pemerintah.
“Kalau misalkan sekarang Pak Prabowo ingin meningkatkan swasembada energi, nah ini kembangin dahulu deh untuk meningkatkan sisi suplai. Dengan demikian, harga energi itu menjadi lebih rendah,” tutur Yayan.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan timnya sudah mengidentifikasi tiga jenis formulasi peralihan subsidi energi, seperti BBM dan listrik, yang ditawarkan untuk diputuskan pada era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Bahlil mengatakan tiga jenis formulasi peralihan subsidi energi itu dihasilkan usai dirinya ditunjuk untuk memimpin tim dalam menentukan formulasi subsidi energi yang tepat sasaran, di mana rapat sudah dilakukan sebanyak 2—3 kali.
Pertama, mengalihkan subsidi energi berbasis kuota atau barang menjadi bantuan langsung tunai (BLT). Namun, Bahlil tidak menampik formulasi ini bakal membuat rumah sakit, sekolah, gereja, dan masjid tidak lagi mendapatkan subsidi listrik.
Sekadar catatan, PT PLN (Persero) mencatat total pelanggan sampai dengan 2023 sebesar 89,15 juta dengan perincian pelanggan rumah tangga sebanyak 81,55 juta pelanggan atau 91,47% dari total pelanggan, kemudian diikuti pelanggan tarif bisnis sebesar 4,7 juta pelanggan atau sebesar 5,28% dan pelanggan tarif sosial sebesar 1.99 juta atau sebesar 2,24% dari total keseluruhan pelanggan.
Selain itu, formulasi pertama bakal membuat transportasi umum tidak lagi mendapatkan subsidi BBM.
Maka, kata Bahlil, timnya membuat formulasi kedua yaitu dengan mempertahankan subsidi berbasis barang atau kuota untuk fasilitas umum untuk menahan inflasi. Selebihnya, subsidinya tetap dialihkan menjadi BLT.
"Alternatif ketiga adalah kita lagi memformulasikan agar sebagian yang disubsidi barang itu bisa dinaikkan angkanya," ujarnya.
Namun, Bahlil mengatakan belum bisa memberikan perincian dengan lengkap karena ketiga formulasi tersebut masih dalam tahap pembahasan dan menunggu untuk dilaporkan ke Presiden Prabowo terlebih dahulu.
Bahlil memastikan subsidi liquefied petroleum gas (LPG) tetap berbentuk barang dan tidak dialihkan menjadi BLT. Hal ini dilakukan dengan mendengarkan aspirasi khususnya dari pelaku usaha dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
(mfd/wdh)