"[Ini terjadi] sudah lama," kata Edi.
Sekadar catatan, PKS tanpa kebun atau pabrik sawit komersial ini kerap dinilai merugikan PKS dengan kebun (konvensional). Pasalnya, PKS tanpa kebun ini juga kerap berdiri didekat PKS konvensional dan mengambil TBS dari pekebun mitra.
Padahal, PKS konvensional merupakan pabrik resmi yang telah memenuhi ketentuan pemerintah, yang mengharuskan bermitra dengan petani swadaya (Inti-Plasma).
Tumpang Tindih
Selain masalah tersebut, saat ini, kata Edi, juga temuan Ombudsman tersebut juga disebab oleh tumpang tindih antar pemangku kebijakan.
Saat ini, ada sebanyak 3 Kementerian yang mengatur dan memberi fasilitas pembangunan kebun masyarakat. Mereka adalah Kementerian Pertanian, Kementerian ATR/BPN, dan Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan (KLHK).
"Kami merasakan itu secara langsung, yaitu adanya kebijakan yangg tumpang tindih menyebabkan pelaku usaha bingung," ujar dia.
"Saat ini juga industri sawit Indonesia terlibat [dengan] sekitar 37 K/L. Jadi kemungkinan ini yg membuat Ombudsman mengusulkan Badan Khusus Sawit dibawah Presiden."
Tentang Temuan Ombudsman
Ombudsman sebelumnya menghitung negara berpotensi mengalami kerugian mencapai Rp279,1 triliun dampak tata kelola industri komoditas kelapa sawit yang dinilai masih belum terintegrasi dan karut-marut.
Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengatakan, potensi nilai kerugian tersebut disebabkan berbagai aspek, mulai dari integrasi kebijakan, pemanfaatan lahan, perizinan, dan juga tata niaga.
"Total potensi nilai kerugian dalam tata kelola industri kelapa sawit adalah Rp279,1 triliun per tahun," ujar Yeka dalam konferensi pers, Senin kemarin.
Secara terperinci total potensi nilai kerugian tersebut berasal dari aspek tata kelola lahan industri kelapa sawit berpotensi rugi Rp74,1 triliun/tahun, aspek peremajaan sawit yang terkendala STDB [Surat Tanda Daftar Budidaya] dan PSR [Peremajaan Sawit Rakyat] berpotensi rugi Rp111,6 triliun/tahun.
Kemudian, lanjut dia, ada juga aspek kualitas bibit yang tidak sesuai ISPO [Indonesian Sustainable Palm Oil] denga potensi kerugian sebesar Rp81,9 triliun/tahun, serta aspek kehilangan yield/keuntungan akibat grading tidak sesuai standar kematangan tandan buah segar [TBS] sebesar Rp11,5 triliun/tahun.
Dalam kaitan itu, lanjut Yeka, Ombudsman pun memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah untuk membenahi tata kelola industri kelapa sawit tersebut. Salah satunya dengan membentuk Badan Nasional yang mengurusi tata kelola hulu-hilir industri kelapa sawit yang berada langsung di bawah Presiden RI.
Badan ini, kata Yeka, perlu diberi kewenangan yang cukup untuk melakukan pengaturan, pembinaan, pendampingan dan pengawasan terkait urusan yang berkaitan dengan industri kelapa sawit.
"Hal ini diperlukan mengingat bahwa permasalahan utama dalam tata kelola industri kelapa sawit adalah karena kebijakan yang mengatur industri kelapa sawit tidak terintegrasi dengan baik sehingga sulit mencapai target yang diharapkan," ujar dia.
(ain)