Bloomberg Technoz, Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan batu bara tetap menjadi tulang punggung produksi listrik dunia dalam jangka pendek, terlepas dari adanya proyeksi penurunan permintaan yang disebutkan Bank Dunia atau World Bank.
Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Julian Ambassadur Shiddiq mengatakan harga minyak dan gas bumi (migas) yang mahal, ditambah ketidakstabilan produksi energi baru terbarukan (EBT), membuat batu bara tetap menjadi sumber energi yang andal dan terjangkau, terutama di negara-negara berkembang Asia dan Afrika.
"Bahkan, program global kendaraan listrik atau electric vehicle [EV] akan membutuhkan pasokan energi yang murah dan stabil, baik untuk proses produksi maupun pengisian daya [charging], di mana batu bara masih dapat memainkan peran penting," ujar Julian kepada Bloomberg Technoz, dikutip Selasa (19/1/2024).

Menyitir laporan dari Institute for Essential Service Reform (IESR) per 2020, kisaran levelized cost of electricity (LCOE) pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara berada pada kisaran US$4,54 sen per kWh hingga US$11,85 sen per kWh.
Sementara itu, kisaran LCOE dari pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) adalah US$9,12 sen per kWh hingga US$13,54 sen per kWh.
Adapun, LCOE adalah harga jual listrik yang dihasilkan agar sistem dapat mencapai titik impas pada akhir masa pakainya.
Eksportir Utama
Dalam kaitan itu, Kementerian ESDM memproyeksikan Indonesia tetap menjadi salah satu eksportir batu bara terbesar di dunia dalam beberapa tahun ke depan.
Hal ini didukung oleh biaya produksi yang relatif rendah dan lokasi geografis yang strategis, sehingga batu bara Indonesia akan tetap menjadi salah satu primadona di pasar tradisional.
Pada 2024, kata Julian, Kementerian ESDM merencanakan produksi batu bara nasional sejumlah 710 juta ton dan realisasi sampai akhir tahun ini diperkirakan mencapai 800 juta ton.
Untuk 2025, produksi batu bara Indonesia ditargetkan mencapai 740 juta ton, dengan porsi 240 juta ton untuk domestik dan 500 juta ton untuk ekspor.
Sementara itu, pada 2026, produksi batu bara diproyeksikan mengalami penurunan menjadi sebesar 728 juta ton, dengan porsi ekspor yang juga menurun menjadi 480 juta ton dan domestik meningkat menjadi 248 juta ton.
Dalam laporan Commodity Markets Outlook terbarunya, Bank Dunia melandasi proyeksi penurunan permintaan batu bara di China, Eropa, dan Amerika Serikat (AS) pada 2026 dengan faktor makin banyaknya pembangkit listrik dari EBT dan gas alam untuk menggantikan pembangkit berbasis batu bara.
Bank Dunia menggarisbawahi peningkatan permintaan batu bara masih terjadi pada tahun ini, seiring dengan konsumsi yang cukup besar dari India serta China yang digadang-gadang mampu mengompensasi penurunan permintaan dari Eropa.
Namun, konsumsi batu bara global diperkirakan mulai menyusut pada 2025, di mana permintaan dari China menurun dan pertumbuhan permintaan India diproyeksikan melambat.
"Jika perkiraan ini terbukti akurat, konsumsi batu bara global akan mencapai puncaknya pada 2024, menandai tonggak penting dalam transisi energi global," tulis Bank Dunia dalam laporannya.
Mencuplik data Statista, negara yang menjadi konsumen batu bara terbesar di dunia adalah China, dengan kapasitas 91,94 exajoules pada 2023. Sementara itu, konsumen kedua terbesar adalah India sebesar 21,98 exajoules dan AS sebesar 8,2 exajoules.
(wdh)