Logo Bloomberg Technoz

Padahal tax amnesty bukan barang sembarangan. Sebab, tax amnesty sejatinya bertentangan dengan prinsip-prinsip perpajakan. Tax amnesty boleh dibilang adalah senjata pamungkas, last resort, saat upaya-upaya lain untuk mendongkrak penerimaan pajak tidak berhasil.

Mengutip tulisan Indonesia’s Tax Amnesty Program: Pros and Cons karya Susy Suryani yang diterbitkan International Tax Review pada 24 Mei 2022, berikut sejumlah ketidaksesuaian tax amnesty dengan prinsip-prinsip perpajakan:

  1. Menciptakan rasa ketidakadilan, terutama bagi Wajib Pajak yang patuh. 
  2. Memunculkan perilaku tidak taat pajak, karena Wajib Pajak berharap akan ada tax amnesty lagi di kemudian hari.
  3. Tidak sesuai dengan prinsip penegakan hukum pajak. Hukum mengamanatkan agar mereka yang tidak patuh mendapat sanksi. Namun peserta tax amnesty diampuni ‘dosa’ pajaknya, cukup dengan membayar denda sesuai ketentuan.

Tax Amnesty 2016-2017

Lalu bagaimana dengan pelaksanaan tax amnesty 2016-2017 dan 2022? Apakah sukses dalam menarik harta yang ‘tersembunyi’ dan mengerek setoran pajak?

Dalam tax amnesty 20216-2017, pemerintah punya harapan besar. Presiden kala itu yaitu Joko Widodo (Jokowi) sempat menyinggung bahwa ada harta mencapai Rp 11.000 triliun milik Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri yang tidak tersentuh pajak.

Kementerian Keuangan RI Direktorat Jendral Pajak. (Bloomberg Technoz/ Andrean Kristianto)

“Datanya saya ada di kantong saya ada. Yang hadir di sini saya hafal satu, dua, masih nyimpan di sana, masih. Wong namanya ada di kantong saya,” kata Jokowi saat menghadiri acara sosialisasi program pengampunan pajak atau tax amnesty, di Hotel Clarion, Makassar, November 2016 lalu.

Oleh karena itu, program tax amnesty diharapkan mampu memuat dana-dana itu ‘pulang kampung’, menjadi objek pajak, arus modal masuk (capital inflow), dan sebagainya yang baik-baik.

Namun apakah kenyataannya demikian? Apakah uang Rp 11.000 triliun itu benar-benar masuk ke Ibu Pertiwi?

Ternyata tidak. Kementerian Keuangan mencatat, total harta bersih yang dilaporkan dalam tax amnesty 2016-2017 adalah Rp 4.854,63 triliun. Dari jumlah tersebut, sebagian besar bukan dari luar negeri tetapi dari Deklarasi Dalam Negeri yaitu Rp 3.676 triliun. Sementara Deklarasi Luar Negeri ‘hanya’ Rp 1.031 triliun.

Lebih sempit lagi, uang yang direpatriasi hanya Rp 147 triliun. Hanya sekitar 3% dari total harta bersih yang dilaporkan.

Lalu, apakah tax amnesty berhasil menggejot setoran pajak? 

Tidak juga. Pada 2016, rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau tax ratio adalah 10,3%. Malah turun dibandingkan 2015 yang sebesar 20,7%. Pada 2017, tax ratio bahkan turun lagi jadi 9,9%.

PPS 2022

Pada 2022, pemerintah kembali menggelar tax amnesty. Namun kali ini hingar-bingar dan skala pelaksanaannya tidak semeriah 2016-2017. Tax amnesty itu hanya berlangsung 6 bulan, dan diberi nama Program Pelaporan Sukarela (PPS).

Realisasi PPS 2022 pun sangat minim dibandingkan 2016-2017. Harta bersih yang dilaporkan adalah Rp 594,82 triliun, atau hanya 12,25% dari tax amnesty sebelumnya.

Kemudian Deklarasi Dalam Negeri pada PPS 2022 bernilai Rp 498,88 triliun atau hanya 13,57% dibandingkan pos serupa 2016-2017. Sedangkan Deklarasi Luar Negeri pada PS 2022 adalah Rp 59,91 triliun, cuma 5,81% dari 2016-2017.

Grafik Dampak Kenaikan PPN 12% terhadap Indikator Makro RI (Bloomberg Technoz)

Kelas Menengah Makin Kalah

Menjadi hal yang ironis bahwa tax amnesty yang menyasar Wajib Pajak kelas paus, tetapi negara malah menambah beban bagi rakyat yang berpendapatan jauh lebih rendah. Tahun depan, terdapat berbagai pungutan yang bisa makin membebani rakyat yaitu kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, peralihan subsidi listrik dan Bahan Bakar Minyak (BBM), Iuran Dana Pensiun Wajib Pekerja, asuransi wajib untuk kendaraan bermotor, perubahan subsidi tarif Kereta Rel Listrik (KRL), dan sebagainya.

Dalam kajian yang diampu oleh akademisi UI Teguh Dartanto dan Canyon Keanu Can tahun lalu, tercatat bahwa pada era Presiden Joko Widodo periode pertama, kelas menengah menikmati pertumbuhan ekonomi lebih besar dibandingkan dengan kelompok termiskin dan terkaya. Alhasil, indikator ketimpangan atau Gini Ratio bisa diturunkan menjadi 0,380 pada 2019.

Namun, pada periode kedua, pertumbuhan ekonomi tidak lagi inklusif di mana manfaat dari kebijakan atau program pemerintah terfokus hanya pada 20% kelompok terbawah dan 10% kelompok teratas. Pada saat yang sama, kelompok kelas menengah yang proporsinya mencapai 40%-80% dilupakan. Bahkan, kelompok 60%-80% mengalami pertumbuhan ekonomi negatif.

Padahal kelas menengah adalah motor konsumsi rumah tangga. Sementara konsumsi rumah tangga adalah penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB.

Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), kelompok kelas menengah mencakup masyarakat dengan pengeluaran berkisar Rp 2.040.262-9.909.844 per kapita per bulan pada 2024. Jumlah itu ditentukan oleh standar Bank Dunia soal kelas menengah dengan perhitungan 3,5-17 kali garis kemiskinan suatu negara.

BPS menghitung jumlah kelas menengah dan menuju kelas menengah (aspiring middle class) mencakup 66,35% dari total penduduk Indonesia. Proporsi konsumsi pengeluaran kelompok ini mencapai 81,49% dari total konsumsi rumah tangga.

Pada kuartal III-2024, BPS melaporkan konsumsi rumah tangga menyumbang 53,08% terhadap pembentukan PDB. Ini adalah kontributor terbesar dari sisi pengeluaran.

(aji)

No more pages