Permasalahannya, sampai dengan saat ini, Indonesia masih memberlakukan mandatori domestic market obligation (DMO) batu bara sebesar 25% hingga kebijakan kewajiban harga domestik atau domestic price obligation (DPO).
Kedua kebijakan tersebut, menurut Sugeng, membuat harga batu bara sebagai sumber energi di dalam negeri menjadi sangat murah jika dibandingkan dengan harga ekspor.
“Inilah pengorbanan pemain batu bara. Kewajiban [DMO] dari seluruh produsen batu bara dalam negeri dengan harga GAR [gross as received] yang tinggi, padahal GAR yang dikonsumsi PLN hanya 4.000 kkal/kg sampai 4.600 kkal/kg,” terang Sugeng.
“Kurang lebih batu bara yang dikonsumsi PLN itu sekarang hanya US$52/ton saja, sedangkan harga internasional kurang lebih harganya di US$80/ton. [..] sehingga jadi murah, karena memang energi primernya batu bara,” lanjutnya.
Menurut Sugeng, penaikan bauran EBT dalam elektrifikasi Indonesia tidak bisa ditawar-tawar, karena potensinya luar biasa, bahkan mencapai 3.000 GW. Sayangnya, bauran EBT di Indonesia baru mencapai 12,4% dan sektor listrik dengan porsi 14%.
“Dari sisi kelistrikan kita bersyukur punya batu bara, tetapi batu bara harus kita tekan emisinya agar bisa penuhi nationally determined contribution [NDC] karena kita sudah menandatangani Paris Agreement,” ucap Sugeng.
Salah satu lembaga think tank energi internasional, Ember, belum lama ini melaporkan ketergantungan Indonesia terhadap batu bara tumbuh pesat pada 2023, guna memenuhi permintaan listrik yang terus meningkat.
Kalahkan China dan Polandia
Di Indonesia, pangsa listrik yang dihasilkan dari batu bara meningkat sedikit ke rekor tertinggi baru sebesar 61,8%. Hal ini mengakibatkan Indonesia melampaui Polandia dalam hal pangsa batu bara dalam pembangkitan listrik pada 2023, setelah melampaui China pada 2022.
Sekadar catatan, China dan Polandia merupakan negara yang secara historis memiliki ketergantungan yang tinggi pada batu bara.
“Secara keseluruhan, Indonesia dan Filipina adalah dua negara yang paling bergantung pada batu bara di Asia Tenggara dan ketergantungan mereka pada batu bara tumbuh dengan cepat,” tulis tim peneliti Ember, dikutip dari laporan di situs resminya.
Pada 2023, Indonesia juga menjadi negara dengan pembangkit listrik berbasis batu bara terbesar kelima di dunia, menyalip Korea Selatan untuk pertama kalinya.
Di antara sepuluh pasar batu bara teratas dunia, Indonesia mengalami peningkatan tercepat, naik dari posisi ke-11 pada 2015 ke posisi ke-5 hanya dalam 8 tahun. Peningkatan ini termasuk melampaui Australia pada 2018, Jerman pada 2019, Rusia pada 2020, dan Afrika Selatan pada 2022.
Ember melaporkan pertumbuhan listrik berbasis energi terbarukan yang lambat menyebabkan Indonesia masih memenuhi kenaikan permintaan listrik terutama dengan batu bara.
Dalam kaitan itu, 67% peningkatan permintaan listrik Indonesia pada 2023 dipenuhi dengan batu bara. Permintaan meningkat sebesar 17,1 TWh (5,1%) pada 2023 dibandingkan dengan 2022, pada saat yang sama tenaga batu bara meningkat sebesar 11,5 TWh (5,6%).
Sementara itu, sebanyak 31% peningkatan permintaan yang tersisa sebagian besar dipenuhi dengan gas. Tenaga surya dan angin hanya berkontribusi sebesar 2,3% dalam memenuhi peningkatan permintaan, sedangkan pembangkitan tenaga air turun sebesar 10% dibandingkan dengan 2022.
Penurunan tenaga air diimbangi oleh peningkatan sebesar 9% dalam pembangkitan bioenergi.
“Sejak Indonesia memulai pembangkitan tenaga angin dan surya pertama pada 2013, pertumbuhannya lambat. Pada 2023, pembangkitan tenaga angin dan surya mencapai 1,2 TWh, menambah 0,4 TWh daya bersih ke jaringan listrik. Secara keseluruhan, pembangkitan tenaga bersih turun 0,3% pada 2023.”
Ember melaporkan, peran terbatas energi terbarukan dalam memenuhi pertumbuhan permintaan listrik di Indonesia sangat kontras dengan China dan Polandia, yang juga secara historis sangat bergantung pada batu bara.
Masalah Minyak
Tidak hanya batu bara, ketergantungan terhadap minyak—yang juga sumber energi fosil andalan RI — juga makin memprihatinkan.
Di tengah produksi siap jual atau lifting minyak dalam APBN yang ditetapkan sebanyak 605.000 barel per hari (bph), realisasi per September atau akhir kuartal III-2024 baru mencapai 588.000 bph.
Sampai dengan akhir tahun ini, lifting minyak diproyeksikan hanya tercapai 590.000, dengan harga Indonesian Crude Price (ICP) di level US$82/barel.
“Tetapi kita bersyukur ICP itu tidak terlampaui, pengeluaran negara dari subsidi tidak tinggi, tetapi pendapatan negara tidak tercapai karena lifting kali ICP itulah pendapatan negara,” kata Sugeng.
Sugeng juga menyebut produksi minyak Indonesia terus mengalami defisit karena konsumsi yang menjadi tanggung jawab negara, yakni sebesar 1,46 juta barel, menggerus cadangan devisa (cadev). Dalam satu tahun, sebanyak Rp360 triliun cadev tergerus untuk impor BBM.
“Karena itu impor BBM jadi problem ekonomi, sehingga program kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) tu sekaligus untuk menekan konsumsi BBM, sekaligus menekan emisi,” papar Sugeng.
Fokus Prabowo
Untuk diketahui, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot menjelaskan sedikitnya terdapat 2 sektor yang bakal difokuskan untuk mencapai target swasembada energi yang dicanangkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Pertama, peningkatan produksi siap jual atau lifting minyak. Yuliot menggarisbawahi posisi lifting minyak Indonesia saat ini berada pada level 600.000 bph.
“Jadi bagaimana kita meningkatkan sesuai dengan target yang ada, sehingga ketahanan energi kita juga bisa tercapai untuk peningkatan lifting tadi,” ujar Yuliot saat ditemui di kantornya, baru-baru ini.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sebelumnya memastikan target lifting minyak 1 juta barel pada 2030 mundur selama 2—3 tahun. Dengan demikian, target tersebut diproyeksikan baru bisa tercapai pada 2033.
Kedua, Yuliot mengatakan, konversi ke EBT juga bakal menjadi fokus untuk mencapai swasembada energi. Menurutnya, salah satu yang dilakukan melalui ekosistem kendaraan listrik atau EV yang sudah mulai terbangun di Indonesia.
“Bisa saja konsumsi bahan bakar minyak [BBM] dengan adanya EV itu kan juga akan berkurang. Kita akan melihat target bagi penggunaan EV beberapa tahun ke depan justru bagaimana pengaruhnya terhadap pengurangan konsumsi BBM di dalam negeri,” ujarnya.
“Untuk pengurangan konsumsi ini, kalau memang produksi kita meningkat, bisa digunakan untuk bahan baku industri lain.”
Dalam pidatonya usai resmi dilantik sebagai Presiden ke-8 RI, Minggu (20/10/2024), Prabowo kembali menegaskan janjinya dalam mewujudkan Indonesia swasembada pangan dan energi selama masa pemerintahannya.
Untuk itu, dia menyebut Indonesia harus melakukan swasembada energi dengan mengolah kelapa sawit menjadi solar maupun bensin, demikian juga sumber tanaman lain seperti singkong, tebu, dan jagung yang harus dimanfaatkan sebagai bahan bakar ramah lingkungan.
“Kita juga punya energi bawah tanah geothermal yang cukup, batu bara banyak, energi dan air yang sangat besar. Pemerintah yang saya pimpin nanti akan fokus untuk mencapai swasembada energi,” janjinya.
(wdh)