Pekan lalu, lanjut Satria, bahkan rupiah sampai mendekati level support Rp 16.00-16.100/US$. BI pun terpaksa melakukan intervensi besar-besaran agar rupiah tidak melemah lebih dalam lagi.
“Secara historis, BI Rate bekerja bersama dengan strategi intervensi. Penurunan suku bunga acuan akan menyebabkan tekanan depresiasi sehingga membuat intervensi menjadi kurang efektif,” tambahnya.
Akan tetapi, Satria menilai ruang penurunan BI Rate tidak tertutup sama sekali. Masih ada peluang, meski mungkin bukan bulan ini.
Sebab, ada kemungkinan dolar AS akan berbalik melemah. Saat ini Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan 6 mata uang utama dunia) masih berada di kisaran 106. Satria menganggap ini sudah di level jenuh beli (overbought).
“Jika Dollar Index tidak berhasil melewati level resisten 107, sesuatu yang gagal terwujud dalam 2 tahun terakhir, maka akan terjadi pelemahan. Desember juga secara musiman jadi periode pelemahan dolar AS, di mana Dollar Index selalu melemah pada Desember selama 7 tahun terakhir dengan rerata koreksi 1,3%,” jelas Satria.
Tidak Bulat
Namun, suara pasar tidaklah bulat. Ada dissenting opinion, ada yang memperkirakan BI Rate bisa diturunkan 25 bps ke 5,75%.
Salah satunya adalah David Sumual, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BBCA). “Ada ruang untuk menurunkan BI Rate selama rupiah tidak sampai menyentuh Rp 16.000/US$ lebih,” tegasnya.
Sementara Eko Listiyanto, Ekonom INDEF, juga menyebut BI punya ruang untuk menurunkan suku bunga. Laju inflasi yang terkendali dan kebutuhan stimulasi ekonomi bisa menjadi alasan MH Thamrin untuk menurunkan suku bunga acuan.
"Menurut saya ada ruang penurunan BI Rate karena inflasi kita sudah rendah. Bila diturunkan, maka akan jadi sinyal bagi sektor riil. Bahwa akan ada gejolak [pada rupiah] itu biasa saja karena ekonomi akan sulit mengejar pertumbuhan dengan bunga acuan saat ini yang tinggi," kata Eko.
(aji)