Penyidik pun berulang kali mengirimkan surat panggilan pemeriksaan kepada Hendry di Singapura. Akan tetapi, Hendry terus mangkir dengan alasan sedang menjalani pengobatan di RS Mount Elizabeth.
Kejaksaan kemudian meminta Direktorat Jenderal Imigrasi melakukan pencekalan dan pencabutan paspor terhadap Hendry yang berlaku enam bulan, sejak 28 Maret 2024. Sesuai peraturan, paspor Hendry berarti tak berlaku dan tak bisa diperpanjang mulai 27 November mendatang.
"Yang bersangkutan paspornya berakhir pada tanggal 27 November 2024. Tak memungkinkan untuk diperpanjang, karena penyidik sudah melayangkan surat ke Kedubes Singapura melalui Ditjen Imigrasi untuk melakukan penarikan paspornya yang bersangkutan" ujar Qohar.
Beralasan tak kunjung datang, penyidik pun tetap melanjutkan pengusutan kasus korupsi Timah; termasuk tetap menetapkan Hendry Lie sebagai tersangka bersama adiknya, Fandy Lingga pada 15 April 2024.
Meski demikian, selama periode pelarian tersebut, kejaksaan sama sekali tak mengeluarkan penetapan DPO atau buron terhadap Hendry Lie. Qohar berdalih, keberadaan Hendry di Singapura cukup jelar; hal ini merujuk pada alamat dan seluruh identitas lainnya. Korps Adhyaksa pun mengklaim tak perlu mengeluarkan status DPO.
"Penyidik selalu monitor [Hendry di Singapura], kemudian ada perwakilan atase kejaksaan yang ada di Singapura, juga ada tim siri dari intelijen yang selalu mengikuti dan memantau pergerakan yang bersangkutan," ujar dia.
Menurut Qohar, penangkapan terhadap Hendry dilakukan karena ada indikasi upaya kembali secara diam-diam ke Indonesia. Hendry diduga kembali mencoba menghindari pennyidik saat harus kembali pulang.
"Secara diam-diam, dengan harapan, dengan maksudnya menghindari petugas," kata dia.
Penangkapan di Bandara Soekarno Hatta dilakukan atas kerjasama Direktorat Penyidikan pada Jampidsus dengan jajaran inteljen pada Jamintel, serta Atase Kejasaan Republik Indonesia di Singapura. Hendry Lie mendarat di Terminal 2F.
(azr/frg)