Penguatan rupiah pagi ini juga berlangsung di tengah rebound IHSG di awal transaksi. Indeks dibuka naik 0,08% dan saat ini makin menguat di 7.164. Ini menjadi kenaikan pertama setelah selama empat perdagangan terakhir, IHSG selalu di zona merah.
Di pasar surat utang, pergerakan yield cenderung naik untuk tenor pendek di mana SBN-1Y naik ke 6,73% dan 2Y naik ke 6,50%, mengindikasikan pasar price-in BI rate ditahan di 6%.
Sementara tenor lebih panjang terpantau turun imbal hasilnya di mana SBN-5Y pagi ini terpantau di 6,71% dan 10Y ada di 6,89%.
Pasar Treasury, surat utang AS, tadi malam memang bergerak menguat di hampir semua tenor setelah beberapa waktu sebelumnya tertekan terutama oleh sentimen penundaan pemangkasan bunga acuan Federal Reserve.
Secara teknikal rupiah sudah berada di level resistance lanjutan di Rp15.810-Rp15.800/US$.
Bila level tersebut kembali tertembus, rupiah bisa semakin menguat menuju Rp15.770/US$ sampai dengan Rp15.750/US$ sebagai resistance paling potensial hingga break MA-100.
Sebaliknya, bila terjadi tekanan dan rupiah melemah, ada level support dicermati pada level Rp15.880/US$ dan Rp15.900/US$. Sedang level support terkuat juga sebagai support psikologis ada di Rp15.950/US$.
Hari ini, Bank Indonesia memulai pertemuan bulanan sampai Rabu nanti untuk mengkaji kondisi perekonomian terkini dan memutuskan kebijakan moneter, BI rate, yang sangat ditunggu-tunggu para pelaku pasar.
Hasil konsensus Bloomberg sampai pagi ini memperlihatkan, mayoritas ekonom memperkirakan BI rate masih akan ditahan di 6%. Hanya 8 dari 33 prediksi yang masuk, memperkirakan BI akan memangkas bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 5,75%.
Memantau pergerakan pasar obligasi negara, terlihat para investor juga memprediksi bunga acuan masih akan ditahan.
Yield SBN tenor pendek 1Y dan 2Y dalam perdagangan kemarin bergerak naik masing-masing 1,3 bps dan 1,7 bps, ketika yield tenor lebih panjang mencatat penurunan.
BI sebenarnya memiliki ruang memangkas bunga acuan itu kendati rupiah telah melemah 2,13% sejak RDG bulan lalu digelar.
Kondisi kelesuan ekonomi domestik dinilai sudah sangat membutuhkan pelonggaran moneter. Terlebih inflasi sudah jatuh ke level terendah sejak 2021 dengan rekor lima bulan beruntun mencatat deflasi.
Konsumsi rumah tangga makin lesu dan kesulitan dibangkitkan di kala aktivitas manufaktur terkontraksi dalam empat bulan beruntun hingga memantik banyak kejadian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Indonesia kini mencatat rasio Setengah Pengangguran tertinggi sejak Agustus 2021 lalu, menyentuh 8%.
Serial pengetatan yang sudah dilakukan BI sejak 2022 lalu dan baru sekali saja diturunkan pada September lalu, telah memicu keketatan likuiditas yang mulai menekan perbankan. Pertumbuhan uang beredar melambat dalam tiga bulan berturut-turut.
Indonesia memiliki cukup cadangan devisa dengan posisi Oktober mencetak rekor terbesar sepanjang sejarah yang dicatat, yaitu US$ 151,2 miliar. Dengan cadangan devisa masih besar, BI memiliki amunisi yang memadai untuk memastikan nilai tukar rupiah stabil di tengah volatilitas jangka pendek.
Yang terbaru, Pemerintah RI baru saja menyelesaikan penjualan sukuk global senilai US$2,75 miliar atau sekitar Rp43,58 triliun dini hari tadi. Sukuk global yang dijual dalam tiga seri itu akan menambah pasokan cadangan devisa RI yang berguna menjadi bekal bank sentral dalam menstabilkan nilai tukar rupiah.
(rui)