Sejak pemberlakuan kenaikan PPN pada 2022, kinerja konsumsi rumah tangga RI rata-rata hanya tumbuh 4,89% ketika Produk Domestik Bruto (PDB) rata-rata tumbuh 5,14%.
Padahal konsumsi rumah tangga menjadi motor utama pertumbuhan ketika kinerja ekspor masih memble akibat pelemahan ekonomi global yang belum pulih sejak pandemi melanda.
Akibat kenaikan lagi PPN yang berpotensi kian melesukan kinerja konsumsi rumah tangga, pertumbuhan ekonomi RI berisiko makin melemah dengan penurunan mencapai 0,17%.
Upah masyarakat juga akan tergerus karena harus menutup lonjakan kenaikan harga barang dan jasa, di mana penurunan upah riil bila PPN dikerek naik jadi 12%, diprediksi mencapai 0,96%.
Selain ke konsumsi, dampak kenaikan PPN juga bisa menurunkan aktivitas ekspor karena barang-barang yang terkena kenaikan harganya juga jadi lebih mahal. Eksportir akan mengurangi penjualan karena harga jual mungkin jadi tidak bersaing gara-gara lonjakan pajak domestik.
Impor bisa makin meningkat terutama dari negara-negara yang agresif melakukan kebijakan dumping. Impor yang lebih kencang berlari ketimbang ekspor akan menggerus surplus dagang yang mengurangi sokongan bagi rupiah.
Kenaikan harga barang akibat tarif PPN yang meningkat juga bisa mengganggu penjualan ritel yang selama ini sudah lesu. Para pabrikan bisa-bisa semakin mengurangi produksi dan jumlah tenaga kerja. Akibatnya, aggregate employment bisa ikut turun jadi 0,94% gara-gara kenaikan tarif PPN itu.
Target 8%
Pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto sejauh ini belum menunjukkan keseriusan mengatasi masalah kelesuan daya beli yang membekap masyarakat sekian lama. Bahkan di kala berbagai indikator ekonomi sudah gamblang memperlihatkan masalah tersebut, yang terjadi justru sinyal kukuh dari penyelenggara negara bahwa kenaikan PPN jadi 12% tetap dilanjutkan.
Hal itu sejatinya menjadi pertanyaan ketika Prabowo berambisi mengerek pertumbuhan ekonomi RI jadi 8% di era kekuasaannya. "Kalau dalam 100 hari pemerintahan Pak Prabowo ini tidak bisa membangkitkan daya beli, kita harus melupakan [target] pertumbuhan ekonomi 8%," kata Eko.
Sementara menggenjot PDB dari sisi lapangan usaha, sejauh ini terlihat kondisi industri pengolahan masih berat. Aktivitas manufaktur juga masih terkontraksi dalam empat bulan beruntun.
Di sisi lain, penarikan utang pemerintah perlu diarahkan lebih tepat untuk belanja produktif sehingga bisa mendukung pertumbuhan ekonomi. "Bila utang dikeluarkan untuk belanja yang berkualitas dan produktif, hal itu bisa memberi dampak berganda pada ekonomi," kata Peneliti INDEF Riza Anisa Pujarama.
Porsi belanja pemerintah terhadap PDB saat ini masih relatif rendah, hanya 7,31% sehingga belum membawa dorongan yang dibutuhkan oleh ekonomi.
Data terakhir yang dilansir oleh BPS, pengeluaran konsumsi pemerintah selama tahun ini hingga kuartal III-2024 dibanding periode yang sama tahun lalu, hanya tumbuh 7,47% c-to-c dan secara tahunan hanya 4,62%. Sumbangan terhadap PDB kuartal III juga hanya 0,32%.
"Makin besar belanja pemerintah yang digelontorkan, seharusnya pengembalian dalam bentuk penerimaan pajak juga lebih tinggi. Tapi, kenyataannya, tren rasio pajak kita terus turun, masih di kisaran 10%," imbuh Peneliti INDEF Riza Annisa Pujarama.
Siapa Paling Terdampak?
Riset LPEM UI yang dilansir beberapa waktu lalu, mendapati, kenaikan PPN jadi 12% itu dapat memperburuk tekanan inflasi dan akhirnya menekan kekuatan konsumsi masyarakat, utamanya kelas menengah dan kelas bawah.
Kebijakan kenaikan PPN jadi 11% sejak 2021, memperlihatkan, terjadi kenaikan 0,86 poin persentase untuk 20% rumah tangga termiskin. Sementara rumah tangga terkaya mengalami kenaikan lebih kecil yaitu 0,71 poin persentase.
Demikian pula, ketika membandingkan beban PPN selama tarif PPN saat ini sebesar 11% terhadap tarif 10% selama era COVID-19 (2020-2021), beban PPN untuk 20% rumah tangga terkaya meningkat sebesar 0,55 poin persentase, sementara itu meningkat sebesar 0,71% untuk 20% rumah tangga termiskin.
"Kenaikan beban paling berat dirasakan oleh rumah tangga yang berada pada persentil ke-20 hingga ke-22, di mana beban mereka meningkat sebesar 0,91 poin persentase," jelas Teuku Riefky, Ekonom LPEM Universitas Indonesia dalam kajian yang dilansir.
Kenaikan tarif PPN juga memiliki dampak regresif terlihat ketika melihat beban PPN berdasarkan kelas pendapatan. Dibandingkan dengan periode sebelum COVID-19 dengan tarif PPN 10%, tarif PPN saat ini sebesar 11% menghasilkan kenaikan beban yang lebih kecil untuk rumah tangga terkaya.
Secara khusus, beban PPN meningkat sebesar 0,84 poin persentase untuk kelompok termiskin, 0,87 poin persentase untuk kelompok rentan, dan 0,61 poin persentase untuk kelompok menengah. Sebaliknya, kenaikan beban PPN hanya sebesar 0,61 poin persentase untuk kelas menengah dan 0,62 poin persentase untuk kelas atas.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indarwati dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR-RI dicecar oleh anggota dewan terkait keputusan kenaikan PPN di tengah situasi konsumsi masyarakat sudah melemah. Bendahara Negara yang sudah berdinas di bawah tiga periode kepresidenan itu memberi alasan normatif yakni bahwa kenaikan PPN jadi 12% itu sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
“Jadi kami di sini sudah dibahas dengan bapak-ibu sekalian, sudah ada UU-nya, kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja itu.
Melalui UU tersebut, pemerintah telah mengerek PPN dari 10% menjadi 11% pada tahun 2021 ketika perekonomian domestik berjibaku menghadapi pandemi Covid-19. Sejak saat itu, ditambah aneka faktor lain mulai dari kenaikan harga BBM, inflasi tinggi akibat disrupsi rantai pasok global, keterpurukan ekspor juga kenaikan BI rate secara spartan, konsumsi masyarakat secara rata-rata tidak pernah lagi menapak tumbuh melampaui pertumbuhan ekonomi nasional.
(rui/aji)