Menurut dia, jika hanya mengandalkan pemerintah, target itu tidak akan terwujud karena di berbagai negara lain pemerintah hanya mampu berinvestasi maksimal 20%. Seharusnya, pihak swasta dapat ikut serta dalam target 100 GW tersebut.
“Jadi jangan sampai pakai batu bara yang subsidi. Biomassa potensinya 53 GW, tetapi harganya diacukan dengan batu bara subsidi, ini tidak akan pernah ketemu,” ujarnya.
Bobby berpendapat Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) juga harus bisa menghitung dampak lingkungan tersebut. Toh, Menteri Keuangan Sri Mulyani, kata dia, memiliki perhatian khusus terhadap subsidi energi terbarukan selama bisa dijustifikasi.
“Kalau [Kepala BKPM] Pak Rosan [Perkasa Roeslani] bisa mengawinkan ini, rasanya 75 GW energi terbarukan 15 tahun ke depan bisa terbangun. Kalau enggak, lupakan,” imbuhnya.
Pemerintah Indonesia baru saja mendapatkan pendanaan hijau sebesar 1,2 miliar euro atau setara Rp20,18 triliun dalam forum Conference of the Parties (COP29) di Baku, Azerbaijan.
Dana tersebut didapat dari bank Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) untuk mengembangkan infrastruktur kelistrikan hijau, yakni pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Pumped Storage dan transmisi penghubung ke pembangkit hijau.
Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia Hashim Djojohadikusumo mengatakan, kolaborasi tingkat global peralihan energi baru terbarukan diharapkan menjadi penopang swasembada energi serta mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Kami telah memiliki strategi baru selama lima tahun ke depan, dengan mencapai pertumbuhan ekonomi minimal 8% secara berkelanjutan," ungkap Hashim.
Dia menjelaskan, pengembangan sumber energi bersih berperan penting untuk meningkatkan daya saing industri. Menurut Hashim, kapasitas EBT di Indonesia ditargetkan bertambah 75% dari total kapasitas listrik 100 GW, dalam 15 tahun mendatang.
(mfd/wdh)