“Sekarang, [bauran EBT] di listrik baru 14%, itu maka target bauran energi 23% pada 2025. Akan tetapi, tidak [akan] tercapai, karena titik nol grade itu 20%,” tegasnya.
Regulasi Terhambat
Terkait dengan kepastian regulasi bauran energi dalam transisi energi, Sugeng mengungkapkan selama ini Rencana Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) selalu terkendala di tingkat pemerintah, khususnya pada era Presiden Joko Widodo.
“Saya [DPR] komitmen Agustus lalu sudah selesai UU EBET, naskah akademisnya sudah diputar ke seluruh Indonesia dan semua sudah sepakat. Hanya ada satu pasal yang gajal, soal power wheeling, padahal, tanpa power wheeling, hampir mustahil EBT bisa jalan.”
Dia pun mengungkapkan draf RUU EBET pada akhirnya selesai, tetapi tidak kunjung bisa disahkan akibat pasal tersebut.
“Akhirnya kita lakukan power wheeling bersyarat. Salah satu target kita tidak boleh lagi monopoli [BUMN]. Ini kepentingan banyak di PLN, membuat seolah diliberalisasi. Dalam 2 bulan ini, [Presiden] Prabowo kita lihat. Hashim [Djojohadikusumo] juga kita lihat,” ujarnya.
Belakangan, pembahasan RUU EBET memang banyak terhambat lantaran adanya ketidaksetujuan dalam poin-poin yang bakal diatur di beleid itu.
RUU yang diusulkan oleh pemerintah itu terdiri dari total 574 daftar inventarisasi masalah (DIM), di mana 12 di antaranya merupakan penambahan pasal baru. Beleid tersebut juga terdiri dari 14 bab dan 62 pasal, di mana 49 pasal diubah, 10 pasal tetap, dan 3 dihapus.
Beberapa pembahasan dalam RUU itu yakni nilai ekonomi karbon, skema power wheeling, hingga pembentukan badan khusus untuk menglola EBT.
Selain itu, ada juga pengelolaan sampah untuk pemanfaatan energi terbarukan, pengecualian persetujuan DPR untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), serta pembentukan Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir.
Adapun, pekan lalu, Utusan Khusus Presiden Indonesia untuk Energi dan Lingkungan Hidup Hashim Djojohadikusumo mengatakan pemerintahan Prabowo Subianto memiliki program untuk menambah 100 gigawatt (GW) energi atau pembangkit listrik baru; di mana 75% di antaranya bakal berasal dari EBT, yang akan dilaksanakan secara bertahap hingga 15 tahun ke depan.
Dalam sambutannya di Indonesia Pavilion pada Conference of the Parties (COP) ke-29, Hashim memberikan perincian bahwa 75% EBT dari 100 GW tersebut bakal disokong oleh 25 GW pembangkit listrik tenaga angin/bayu (PLTB), pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik panas bumi (PLTP), dan PLTN.
"Akan ada program-program baru yang akan ditawarkan oleh Presiden Prabowo dan pemerintahannya kepada dunia. Salah satunya, program tersebut adalah 100 GW energi baru yang akan dilaksanakan oleh pemerintahan baru dalam 15 tahun ke depan, yang 75%-nya—atau 75 gigawatt — akan berupa energi terbarukan," ujar Hashim dalam upacara pembukaan Indonesia Pavilion COP 29.
Selain itu, Hashim juga mengatakan pemerintah memiliki komitmen pada program-program baru, seperti penangkapan, penggunaan dan penyimpanan karbon atau carbon capture storage/carbon capture utilization storage (CCS/CCUS).
Dari sisi perdagangan karbon, Indonesia juga telah memverifikasi 577 juta ton karbon yang bakal ditawarkan kepada berbagai pihak. Adapun, beberapa negara seperti Kerajaan Norwegia telah membuat komitmen baru 30 juta ton.
Salah satu negara teluk, kata Hashim, juga membuat membuat komitmen untuk mengajukan penawaran untuk membeli 287 juta ton karbon Indonesia.
"Pemerintah, di bawah kepemimpinan Kementerian Lingkungan Hidup, sedang menyelesaikan penilaian 600 juta ton karbon lebih lanjut, yang kami harapkan dapat ditawarkan kepada dunia dalam beberapa bulan ke depan," ujarnya.
(wdh)