"Ada ruang untuk menurunkan BI rate selama rupiah tak sampai menyentuh Rp16.000/US$ lebih," kata Chief Economist PT Bank Central Asia Tbk David Sumual, yang memprediksi bunga acuan akan dipangkas sebesar 25 bps.
Kondisi kelesuan ekonomi domestik membutuhkan pelonggaran moneter, ketika inflasi sudah jatuh ke level terendah sejak 2021. Konsumsi rumah tangga makin lesu dan kesulitan dibangkitkan di kala aktivitas manufaktur terkontraksi dalam empat bulan beruntun hingga memantik banyak kejadian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Indonesia kini mencatat rasio Setengah Pengangguran tertinggi sejak Agustus 2021 lalu, menyentuh 8%.
Pada saat yang sama, serial pengetatan yang sudah dilakukan BI sejak 2022 lalu dan baru sekali saja diturunkan pada September lalu, telah memantik keketatan likuiditas yang dikeluhkan oleh perbankan. Pertumbuhan uang beredar melambat dalam tiga bulan berturut-turut.
Biaya dana di perbankan masih tinggi dan memperlambat pertumbuhan dana masyarakat di bank. Imbasnya, lending standard atau kebijakan bank dalam menyalurkan kredit makin ketat sehingga mulai berdampak memperlambat laju penyaluran kredit.
Situasi itu membutuhkan intervensi agar tidak terus bergulung menjadi spiral dan memicu situasi tekanan lebih jauh pada perekonomian domestik. Lebih-lebih pemerintah terlihat masih akan berkukuh menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai 1 Januari 2025 menjadi 12%.
Alih-alih memberikan stimulus, kenaikan tarif pajak yang akan berdampak luas pada konsumsi domestik, menjadi pukulan bertubi-tubi bagi masyarakat.
Konsumsi yang sudah lesu dan berpotensi kian lemah karena kenaikan pajak, akan menekan tingkat permintaan para pabrikan. Penjualan ritel bisa kian lesu dan para produsen bisa kian agresif menempuh langkah efisiensi sehingga dapat memantik PHK makin banyak. Demikian seterusnya bak lingkaran setan.
"Menurut saya ada ruang penurunan BI Rate karena inflasi kita sudah rendah. Bila diturunkan akan jadi sinyal bagi sektor riil [agar lebih bergairah]. Bahwa akan ada gejolak [pada rupiah] itu biasa saja karena ekonomi akan sulit mengejar pertumbuhan dengan bunga acuan saat ini yang tinggi," kata Eko Listiyanto, Ekonom dan Direktur Pengembangan Big Data INDEF.
Perekonomian RI membutuhkan tambahan likuiditas lebih besar agar bisa mendorong pertumbuhan ekonomi ke depan. "Bila likuiditas tidak ada [tambahan], segitu-gitu saja, ekonomi tidak bisa tumbuh," kata Eko.
Antisipasi Trump
Tekanan yang dihadapi oleh rupiah dinilai menjadi penghalang utama bank sentral dalam memulai pelonggaran moneter. Apabila rupiah sampai menjebol level psikologis di Rp16.000/US$, apalagi sampai mendekati lagi kisaran Rp16.400/US$ misalnya, BI mungkin akan memilih jurus stabilisasi nilai tukar dulu dengan risiko membiarkan situasi pengetatan lebih lama.
Namun, ada baiknya menilik lebih detil situasi yang dihadapi oleh rupiah saat ini.
Rupiah sejatinya masih mencatat penguatan bila menghitung periode selama semester 2-2024, yakni sebesar 3,30% half-to-date. Hanya saja, bila dihitung lebih sempit selama kuartal IV-2024, rupiah sudah tergerus 4,44% quarter-to-date.
Nilai pelemahan rupiah selama kuartal ini, masih lebih kecil dibanding mata uang negeri jiran seperti ringgit yang ambles hingga 7,7%, lalu baht 7,37%, yen Jepang 7,08%, won 5,60%, juga peso 4,58%.
Tekanan yang dihadapi oleh rupiah terutama karena hasil Pilpres AS yang memenangkan Donald Trump. Kekhawatiran akan re-inflasi di AS menyusul rencana kebijakan tarif impor dan pembatasan imigran, dinilai menyusutkan prospek penurunan bunga Federal Reserve, bank sentral AS.
Namun, penting dilihat bahwa kebijakan-kebijakan itu masih belum menjadi kebijakan yang aplikatif. Baru diungkapkan dalam kampanye dan belum ada kepastian kapan akan diterapkan dan seperti apa detil kebijakannya.
Para ekonom Bloomberg Economics untuk kawasan AS memperkirakan, kebijakan tarif impor Trump kemungkinan baru akan keluar pada akhir 2025 atau awal 2026.
"Secara keseluruhan, negara Asia Tenggara yang ekonominya digerakkan oleh domestik seperti Filipina dan Indonesia seharusnya bisa bertahan lebih baik dalam jangka panjang. Namun, mereka tidak akan kebal terhadap volatilitas mata uang dan ancaman arus keluar modal," kata Tamara Mast Henderson dalam risetnya.
Dengan kata lain, perekonomian RI kemungkinan masih akan bertahan menghadapi risiko perang dagang, hanya bila motor pertumbuhan domestik, yakni konsumsi rumah tangga tetap kuat. Namun, bila motor utama juga ambruk, dampak kebijakan Trump bisa semakin keras memukul ekonomi Indonesia ke depan.
Selain itu, bila memasukkan faktor Trump, terlihat bila tekanan yang dialami oleh rupiah saat ini sifatnya temporer. Pada saat Trump pertama kali menjadi Presiden AS dalam Pilpres November 2016, rupiah kala itu langsung tergerus hampir 4% dalam rentang 20 hari saja, menyentuh level terlemah di Rp13.585/US$.
Namun, begitu Trump dilantik pada Januari 2017, rupiah berangsur menguat ke level Rp13.351/US$ pada bulan itu. Sepanjang tahun 2017, tahun pertama Trump resmi di Gedung Putih, rupiah hanya mencatat pelemahan 0,70% dengan level terlemah terjadi pada akhir Oktober 2017 di Rp13.618/US$.
Rupiah baru secara substantif tertekan pada periode ketika perang dagang AS-China 'resmi' dimulai, yakni sejak awal 2018. Ketika itu rupiah ambles hingga 6,86% sepanjang tahun, terburuk kedua setelah rupee India. Kejatuhan nilai tukar itulah yang kemudian mendorong kenaikan BI rate selama April-November 2018 sebanyak 175 bps.
BI bisa memanfaatkan jeda waktu sebelum Perang Dagang II benar-benar dimulai, dengan melanjutkan pelonggaran untuk menolong perekonomian domestik.
Ini yang sepertinya ditempuh oleh otoritas moneter Hong Kong yang memangkas bunga acuan tepat setelah FOMC The Fed, bahkan di tengah sentimen 'Trump Trade' yang sempat menekan pasar emerging Asia.
HKMA, otoritas moneter Hong Kong memangkas bunga acuan karena perekonomian bekas koloni Inggris itu sudah terjebak kelesuan sekian kuartal.
Pasar sejauh ini juga terlihat sudah menghitung potensi perlambatan penurunan bunga The Fed hingga Maret 2025, terlihat dari pola steepening di pasar Treasury. Dengan kata lain, selama tidak ada shock baru yang membuat pasar dipaksa repricing, situasi bagi rupiah sepertinya masih relatif aman.
Selain itu, ada beberapa hal penting yang mungkin bisa mempertebal kepercayaan diri Bank Indonesia untuk memulai pelonggaran sebelum tahun ini berganti, mendahului gelombang ketidakpastian yang mungkin akan kembali besar begitu Trump dilantik resmi pada awal 2025 nanti.
Pertama, nilai cadangan devisa melimpah. Pada akhir Oktober lalu, nilai cadangan devisa RI kembali memperbarui rekor tertinggi sepanjang masa sebesar US$ 151,2 miliar.
Kenaikan cadangan devisa itu masih terjadi bahkan ketika nilai tukar rupiah tergerus 3,7% pada periode yang sama, penurunan bulanan terbesar sejak pandemi Covid-19 empat tahun lalu.
Dengan cadangan devisa masih besar, BI memiliki amunisi yang memadai untuk memastikan nilai tukar rupiah stabil di tengah volatilitas jangka pendek.
Kedua, rekam jejak rupiah di akhir tahun. Dalam lima tahun terakhir, rupiah selalu menguat setiap akhir tahun dengan kenaikan nilai rata-rata 1,2% tiap Desember.
Penguatan rupiah disokong oleh tren musiman arus masuk modal asing seiring langkah window dressing para pengelola dana global.
Ketiga, arus modal asing sepanjang tahun ini masih mencatat net buy. Catatan BI, sepanjang tahun hingga transaksi 14 November lalu, asing masih mencatat beli neto sebesar Rp30,88 triliun di pasar saham, Rp37,29 triliun di pasar SBN dan Rp192,98 triliun di SRBI.
Keempat, keketatan likuiditas di bank. BI Rate yang masih ditahan di level tinggi ditambah bunga SRBI yang juga tinggi, memukul perbankan yang dipaksa menanggung biaya dana lebih besar. Bunga kredit susah turun dan pertumbuhan kredit bisa kian lambat.
Kelima, motor pertumbuhan yakni konsumsi rumah tangga bisa makin terpuruk begitu tarif PPN dikerek naik jadi 12%. Perhitungan INDEF, kebijakan itu bisa menggerus pertumbuhan konsumsi rumah tangga hingga -0,26% yang akan menyeret penurunan PDB hingga 0,17%.
Pelonggaran moneter diharapkan bisa membantu ekonomi domestik agar tak makin terpuruk akibat tarif kenaikan pajak yang sulit dijeda karena ruang fiskal yang sempit.
(rui/aji)