Bank Dunia mencatat rerata harga nikel berada di level US$16.627/ton pada Januari—Maret 2024. Harganya sempat menguat ke level US$18.416/ton pada April—Juni 2024 dan melemah kembali ke level US$16.235/ton pada Juli—September 2024.
Institusi tersebut juga melaporkan harga nikel turun 12% secara quarter to quarter (qtq) pada kuartal III-2024. Pada penutupan Jumat pekan lalu, nikel di London Metal Exchange (LME) diperdagangkan di US$15.540/ton, melorot 0,51% dari hari sebelumnya.
"Di dunia yang terus berubah ini, ada banyak pesaing yang agresif dalam mengejar pangsa pasar dan teknologi yang membuka biaya pasokan yang lebih rendah," tambah Slattery.
"Pergeseran di pasar nikel menggambarkan kisah ini dengan sangat baik pada masa lalu," katanya. "Bagi BHP, hal ini mengakibatkan keputusan yang sulit, tetapi perlu untuk menangguhkan sementara operasi Western Australia Nickel kami."
Para pembuat kebijakan Australia, kata Slattery, perlu memastikan daya saing jangka panjang atau industri pertambangan negara tersebut berisiko kalah dari negara-negara dengan rezim royalti yang lebih rendah dan biaya penambangan yang lebih rendah.
Untuk diketahui, komentar Slattery dilontarkan saat perusahaan-perusahaan tambang Australia tengah menghadapi tekanan dari serikat pekerja yang menuntut kenaikan gaji bagi pekerja dan perubahan royalti batu bara di negara bagian Queensland yang berdampak pada pendapatan.
"Dampak manis pada pendapatan tidak akan membuat negara bagian menjadi lebih baik dalam jangka panjang jika investasi diarahkan ke tempat lain," katanya.
Desakan ke LME
Keluhan penambang di luar negeri ihwal persaingan yang sulit melawan komoditas mineral logam—khususnya nikel — yang diproduksi dengan biaya rendah oleh negara seperti Indonesia bukan pertama kali ini dilontarkan.
Awal tahun ini, LME dibanjiri desakan oleh banyak perusahaan tambang Barat untuk membedakan klasifikasi antara 'nikel hijau' dan nikel biasa dalam perdagangan komoditas logamnya.
Penambang-penambang global menilai nikel murah yang diproduksi di Indonesia telah merusak harga pasar nikel premium, yang diproduksi dengan ongkos lebih mahal lantaran menggunakan sistem dan teknologi ramah lingkungan.
Namun, LME sebagai pengelola pasar logam barometer dunia justru memberi sinyal bahwa pasar 'nikel hijau' atau disebut juga 'nikel premium' atau green nickel masih belum sanggup menyaingi produksi logam sejenis dari China atau Indonesia.
Dalam catatan atau notice yang diterbitkan pada Maret, LME menegaskan pasar ‘nikel hijau’ saat ini masih terlalu kecil untuk bisa menggaransi kontrak berjangka mereka sendiri.
“LME yakin pasar ‘nikel hijau’ belum cukup besar untuk mendukung semangat memperdagangkan kontrak berjangka hijau khusus. Pelaku pasar telah menyatakan kekhawatirannya akan hal itu dan masih terdapat perdebatan pasar yang signifikan mengenai bagaimana mendefinisikan ‘hijau’,” papar bursa logam barometer dunia itu.
Orang terkaya di Australia, Andrew Forrest, bahkan mendesak LME untuk membedakan klasifikasi antara nikel "kotor" dan "bersih" dalam perdagangan logamnya. Pernyataan tersebut dibuat setelah bisnis logam pribadinya mengumumkan penutupan tambang baru-baru ini.
Forrest menambahkan, beberapa perusahaan menggunakan baterai dari nikel murah yang ditambang di Indonesia, yang dikenal dengan jejak emisi tinggi dan standar lingkungan yang dipertanyakan.
"Anda ingin punya pilihan untuk membeli nikel bersih jika Anda bisa," kata Forrest. "Jadi, LME harus membedakan mana yang kotor dan yang bersih. Keduanya adalah produk yang berbeda, dan memiliki dampak yang sangat berbeda."
Kampanye Negatif
Menanggapi fenomena tersebut, Direktur Utama PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID) Hendi Prio Santoso mengatakan tudingan nikel kotor atau dirty nickel kepada nikel Indonesia merupakan kampanye negatif yang memiliki motif persaingan usaha, khususnya dari Australia.
Hendi mengatakan kemajuan industri sektor pertambangan, terutama nikel, telah membuat negara produsen lain merasa terancam.
Dengan demikian, tidak mengherankan bila Australia—sebagai salah satu produsen terbesar nikel di dunia — melayangkan pernyataan nikel kotor yang dianggap sebagai kampanye negatif untuk membuat harga nikel Indonesia tidak kompetitif.
"Maka negative campaign seperti dirty nickel yang diusung oleh negara lain agar produk industri nikel ini dikenakan tarif di negara tujuan ekspor sehingga tidak kompetitif," ujar Hendi dalam agenda MINDialogue di Jakarta Selatan, medio Juni.
"Ini semua bermotifkan persaingan usaha dan berlandaskan arena geopolitiknya sendiri."
Selain kampanye negatif tersebut, kata Hendi, Indonesia juga menghadapi gugatan terhadap nikel di Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO).
Hendi pun mengatakan Indonesia bisa menghadapi kampanye negatif dan gugatan WTO dengan tetap menganut kebijakan politik luar negeri, yakni nonblok.
Menurut Hendi, Indonesia bisa bersikap tidak memihak kepentingan negara mana pun, tetapi terbuka untuk kerja sama dengan mitra potensial yang mendatangkan keuntungan dalam pengolahan sumber daya di Indonesia dengan maksimal.
"Artinya, kita jangan sampai lebih berat partisan baik kekepentingan Barat, kepentingan Timur, maupun kepentingan China," ujarnya.
(wdh)