"Sehingga, faktor sentimen luar negeri lebih berpengaruh signifikan dibanding fundamental," ujar Alvin.
Padahal, tidak semua kinerja keuangan empat bank besar menununjukkan penurunan meski isu perbankan saat ini adalah ketatnya likuiditas dan penurunan kualitas aset.
Kemudian, sektor komoditas. Sektor ini secara umum digerakkan oleh sentimen outlook perekonomian China.
Sehingga, faktor sentimen luar negeri lebih berpengaruh signifikan dibanding fundamental.
Analis Algo Researh Alvin Baramuli
Ada beberapa saham yang cukup atraktif, namun pergerakannya lebih didorong oleh sentimen dari konglomerasi di belakangnya, seperti BRMS, ADRO, RAJA dan BUMI.
Dengan demikian, Alvin memperkirakan IHSG akan diperdagangkan dalam kisaran terbatas. "Ini karena prospek laba emiten akan tetap rendah pada 2024 tanpa katalis positif langsung di tingkat makro dan mikro," imbuhnya.
Butuh Waktu
Pertumbuhan ekonomi RI kuartal III-2024 ada di level 4,9%, sedikit di bawah ekspektasi konsensus di kisaran 5%-5,1%.
Konsumsi rumah tangga masih menghadapi tantangan dan pertumbuhan ekonomi beberapa periode terakhir lebih dikarenakan adanya aliran investasi.
Pemerintahan baru Indonesia di bawah Prabowo Subianto juga telah menjanjikan berbagai terobosan kebijakan, dengan harapan dapat mengangkat perekonomian dengan target pertumbuhan PDB yang ambisius sebesar 8%.
Namun, meski kebijakan tiga juta rumah dan makan bergizi gratis tampak menjanjikan, program ini masih kurang detil konkritnya.
"Akibatnya, perlu waktu untuk menentukan apakah kebijakan ini dapat memberikan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan," jelas Alvin.
"Satu hal yang pasti, pemerintah baru akan membutuhkan dana tambahan, baik dengan menaikkan pajak atau menerbitkan utang pemerintah untuk mendukung dan melaksanakan program-program ini."
Fase Bearish
Situasi-situasi seperti itu yang membuat pergerakan IHSG belakangan terbatas, bahkan dengan kecenderungan bearish.
Fase bullish terakhir terjadi medio September kemarin, saat IHSG berkali-kali cetak rekor, bahkan sempat nyaris menembus kisaran level 8.000. Alih0alih menembus level tersebut, indeks justru berbalik arah.
Hari ini saja, Jumat (15/11/2024), IHSG anjlok 1,15% ke posisi 7.131,63 pada penutupan sesi satu siang ini.
Penurunan itu membuat IHSG mengakumulasi penurunan 1,76% selama satu pekan terakhir. Indeks bahkan anjlok 7,76% dalam satu bulan perdagangan terakhir. Sementara, sejak awal tahun, penurunannya mencapai 1,60%.
Praktisi pasar modal Bernad Mahardika Sandjojo memperkirakan, IHSG bahkan bisa menyentuh level 7.000. Alasannya semakin kuat karena isu kembali memanasnya perang tarif usai Donald Trump kembali menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat (AS).
"Saat ini, kalau lihat indo bond yield 10 years itu malah turun, dari 6,8 ke 6,75. itu berarti harga bond malah naik. di sini berarti ada pengalihan portofolio dari penjualan saham ke bond. Jadi menurut saya ini bukan total outflow dari asing, dia lagi mengamankan posisi dari market equity kita ke bond market kita. Sambil wait and see arah ke depannya."
"Jadi jangan dilihat 7.000 nya dulu, saya tidak mau menakuti-nakuti. IHSG ini bisa terjadi ditarget 7000 kalau confirm, menjelang itu pasti akan uji neckline." kata dia.
Rekomendasi Saham
Alvin mengamini proyeksi IHSG yang bearish. Namun, bukan berarti kesempatan hilang.
"Karena investor dan pedagang menjadi lebih pesimis, membeli saat harga sedang turun secara bertahap dan taktis bisa jadi menarik di kisaran 7.000-7.200," jelas Alvin.
Sektor komoditas masih bisa menjadi pilihan menarik. Alasannya, ada ekspektasi pemerintah China meningkatkan stimulus untuk menghadapi perang tarif yang berpotensi memanas tahun depan.
Stimulus itu akan memicu inflasi yang menguntungkan, terutama untuk harga komoditas seiring dengan meningkatnya permintaan komoditas dari China.
Di sektor perbankan, saham berkapitalisasi besar akan dipengaruhi oleh efek window dressing akhir tahun, terutama nama-nama seperti BMRI, BBRI, dan BBCA.
Namun, kenaikan saham perbankan kemungkinan terbatas karena arus modal asing juga masih terbatas, dengan arus penjualan yang terus berlanjut dan potensi tantangan dari pencadangan yang lebih tinggi pada tahun 2025.
Sedangkan untuk sektor teknologi, EMTK dan BUKA bisa jadi menarik karena ekspektasi aksi korporasi untuk membuka posisi kas mereka yang signifikan, meskipun hal ini mungkin memerlukan waktu untuk terwujud.
(red)