Media pemerintah China seperti CCTV menangkap referensi "empat garis merah" itu dengan menulis bahwa hal itu menjadi garis agenda hubungan kedua negara di masa depan.
"Hal itu tidak bisa dipertentangkan," kata Xi dalam pernyataan setelah bertemu dengan Biden di Lima, Peru, tempat mereka menghadiri pertemuan puncak APEC. "Garis-garis itu adalah batasan dan garis jaring pengaman penting bagi hubungan China-AS."
Pernyataan panjang Xi setelah pertemuan dengan Presiden AS yang akan lengser pada Januari 2025 itu memperlihatkan bahwa China berharap positif, tetapi bersiap menghadapi situasi terburuk.
Trump sebelumnya mengancam mengenakan tarif sebesar 60% pada barang impor China dan menunjuk sejumlah orang berhaluan garis keras dalam tim kebijakan luar negerinya, seperti Marco Rubio sebagai calon menteri luar negeri dan Mike Waltz sebagai penasehat keamanan nasional. Hal ini memperlihatkan tidak ada masalah-masalah sensitif yang tidak akan disentuh.
Di saat bersamaan, banyak pihak mempertanyakan Trump terkait seberapa jauh AS akan mendukung Taiwan dan karena dia juga semakin dekat dengan Elon Musk, CEO Tesla Inc yang memiliki kepentingan bisnis cukup besar di China.
Pada 2023, Musk mengatakan bahwa Taiwan adalah "bagian penting dari China," yang diprotes keras oleh pemimpin Taiwan.
Selain itu, masih belum jelas apakah ancaman tarif tinggi ini menjadi batu lonjakan perundingan seperti yang pernah terjadi pada masa jabatan pertama kepresidenan Trump, atau apakah Trump semakin berpegang pada garis ideologi ketika mencoba mengatasi musuh utama AS.
Dalam pertemuan APEC ini, CEO JPMorgan Chase & Co Jamie Dimon memandang perintah Trump terkait tarif tinggi itu sebagai upaya membawa kedua pemerintahan kembali ke meja perundingan dan meminta hadirin membaca buku karya Trump yang berjudul The Art of the Deal.
Di Peru, Xi berusaha meningkatkan hubungan dengan sejumlah sekutu dan mitra AS, dan dia akan melakukan perundingan serupa pada pertemuan G20 di Brazil yang dimulai Senin (18/11/2024).
Dalam pertemuan dengan Presiden Korea Selata Yoon Suk Yeol, Xi meminta semua negara memperdalam pembicaraan dan mempertahankan stabiltias. Ini mengisyaratkan ketidaksetujuannya atas pengiriman tentara Korea Utara membantu Rusia dalam perang melawan Ukraina.
Pernyataan Xi setelah bertemu Biden memperlihatkan bahwa China terbuka untuk melakukan perundingan terkait masalah ekonomi yang tidak menyentuh isu-isu yang dilarang, mungkin isu terbesarnya adalah kemerdekaan Taiwan yang berulang kali diancam akan diambil alih dengan kekerasan jika perlu.
Setelah pembicaraan dengan Biden ini untuk pertama kali, Xi menyebut pemimpin Taiwan dengan namanya ketika mengatakan AS harus "melihat tujuan asli Lai Ching-te" dalam mendapatkan kemerdekaan.
Terkait masalah Laut China Selatan, Xi memperingatkan agar AS tidak ikut campur dalam perebutan wilayah dengan Filipina, negara sekutu AS, dan mendesak Biden agar tidak membantu "melakukan provokasi" meski dia tidak menyebut nama negara Asia Tenggara itu secara langsung.
Xi juga mengkritik kebijakan AS bernama "small yard and high fence," istilah yang diciptakan oleh Penasehat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan untuk menggambarkan strategi negara itu menghentikan China mendapat akses ke teknologi canggih.
Terkait peringatan agar menghindari isu hak asasi dan demokrasi, masih belum jelas maksud pernyataan Xi ini. Namun, dia sejak lama khawatir dengan hal yang dipandangnya sebagai upaya AS memicu pembangkangan dan tekanan ekonomi yang semakin besar di China berisiko mendorong gerakan kemarahan pada pemerintahnya.
China sering memberi peringatan tidak jelas, dan peringatan-peringatan tersebut tidak serta merta memicu perang. Jake Sullivan mengatakan bahwa pernyataan-pernyataan itu memang pernyataan yang biasa dikemukakan oleh Beijing.
"Pesan untuk 'memilih secara bijak, bukan memilih yang salah' adalah pernyataan standar Republik Rakyat China yang sudah berulang kali dikemukakan dalam empat tahun terakhir, empat tahun sebelumnya dan sebelum-sebelumnya," kata Sullivan setelah pertemuan itu. "Dan hal ini benar terjadi ketika hubungan menjadi lebih kompetitif."
Pernyataan tertulis Gedung Putih mengatakan bahwa kedua pemimpin "menekankan pentingnya mengelola aspek-aspek persaingan dalam hubungan kedua negara secara bertanggung jawab," selain mencegah konflik dan terus melakukan komunikasi.
Apa pun tujuan pernyataan Xi ini, dia berusaha mengarakterisasi posisi AS terhadap China lebih dari sebelumnya. Pernyataan tertulis China memuat kata "tidak" sebanyak enam kali, padahal dalam pertemuan sebelumnya di Bali hanya ada empat kata "tidak".
"AS tidak menciptakan Perang Dingin baru, negara itu tidak mencoba mengubah sistem China, sekutu-sekutunya tidak memusuhi China, negara itu tidak mendukung 'kemerdekaan Taiwan', AS tidak membuka konflik dengan China dan AS tidak memandang kebijakannya soal Taiwan sebagai upaya bersaing dengan China."
Pertanyaaan besar yang muncul sekarang adalah apakah Trump dan anggota kabinetnya sepakat bahwa itu memang kebijakan AS?
(bbn)