Indeks dolar AS yang menguat tajam pekan lalu, pagi ini masih stabil di kisaran 106,62. Pekan ini kalender ekonomi global tidak terlalu padat meski akan banyak pejabat Federal Reserve yang dijadwalkan bicara di berbagai forum terpisah.
Ekspektasi pelaku pasar akan penurunan bunga acuan The Fed tahun depan semakin menipis usai berbagai sinyal keluar pekan lalu, baik itu dari data ekonomi maupun pernyataan Gubernur The Fed Jerome Powell.
Penjualan ritel AS menguat sehingga membawa ekspektasi inflasi di negeri itu juga ikut naik. Pasar kini memperkirakan The Fed mungkin akan menunda penurunan bunga acuan hingga akhir kuartal 1-2024.
Hal itu menjadi kabar kurang baik bagi aset-aset emerging market yang potensial menghadapi penyempitan selisih imbal hasil investasi ke depan.
Pagi ini, indeks saham kembali dibuka melemah 0,13% meski setelah itu berhasil bangkit menguat tipis. Tekanan yang dihadapi oleh rupiah pekan lalu terutama karena arus jual di bursa saham domestik yang membesar.
Sedangkan di pasar surat utang negara pagi ini, pergerakan harga cenderung bervariasi. Yield tenor pendek masih melanjutkan kenaikan di mana tenor 2Y masih berada di 6,59%, sedangkan tenor panjang 10Y pagi ini sedikit turun ke 6,91%.
Secara teknikal nilai rupiah berpotensi menguat hari ini meski masih di kisaran sempit. Target penguatan terdekat ada di rentang Rp15.840/US$ yang menjadi resistance potensial sebelum break resistance berikut di Rp15.800/US$ sampai dengan Rp15.770/US$.
Dalam sepekan perdagangan, apabila kembali level resistance tersebut tertembus, rupiah berpotensi menguat lebih lanjut ke level Rp15.740/US$ hingga Rp15.700/US$ sebagai resistance potensial.
Sebaliknya, bila terjadi tekanan yang melemahkan rupiah, ada support menarik dicermati di Rp15.900/US$ dan selanjutnya Rp15.950/US$. Adapun support terkuat ada di level Rp16.000/US$.
Keputusan BI rate
Tekanan yang dihadapi oleh rupiah sepanjang pekan lalu akan menjadi bekal berharga bagi Dewan Gubernur Bank Indonesia yang dijadwalkan akan menggelar pertemuan dua hari pada Selasa-Rabu nanti.
Arus modal asing, terutama dari pasar saham, masih membebani nilai tukar dan mungkin akan mendorong Perry Warjiyo dan kolega akan kembali menahan tingkat bunga acuan bulan ini.
Mengacu hasil konsensus 23 ekonom yang dihelat oleh Bloomberg sampai Senin pagi ini, menghasilkan median 6% yang berarti BI rate diprediksi akan kembali ditahan oleh bank sentral pada pertemuan November ini.
Hanya 6 ekonom yang memprediksi BI mungkin akan menurunkan bunga acuan sebesar 25 bps dalam RDG pekan ini.
Sebagian ekonom menilai, meski rupiah cenderung tertekan belakangan akan tetapi kisaran pelemahannya masih di 'zona aman' karena belum sampai menyentuh Rp16.000/US$ apalagi mendekati Rp16.500/US$ seperti yang terjadi pada Juni lalu.
Selain itu, bila melihat tren bunga global, The Fed sejauh ini sudah memangkas bunga acuan sebanyak 75 bps. Sementara BI baru sebanyak 25 bps.
"Ada ruang untuk menurunkan BI rate pekan depan selama rupiah tak sampai menyentuh Rp16.000/US$ lebih," kata Chief Economist PT Bank Central Asia Tbk David Sumual, yang memprediksi BI rate akan dipangkas sebesar 25 bps pekan ini.
Pelemahan ekonomi domestik, inflasi yang sudah rendah, keketatan likuiditas yang dirasakan oleh perbankan, tren kinerja historis rupiah di akhir tahun yang cenderung menguat dalam lima tahun terakhir, menjadi hal-hal yang mungkin mendorong penurunan BI rate.
Namun, menilik kerentanan yang masih dihadapi oleh rupiah terlebih dengan lanskap geopolitik yang berubah dengan keterpilihan lagi Donald Trump sebagai Presiden AS, narasi untuk rupiah mungkin berubah dan berdampak pada penentuan bunga acuan.
Terlebih dengan kini ekspektasi pasar bergeser ke penundaan penurunan Fed fund rate yang bisa semakin panjang hingga akhir kuartal pertama tahun depan. Peluang penurunan BI rate pun jadi ikut menurun.
(rui)