Nilai net sell itu terdiri atas jual bersih saham sebesar Rp4,12 triliun, lalu menjual Rp3,65 triliun Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Sementara di pasar Surat Berharga Negara (SBN), asing masih membukukan net buy tipis Rp350 miliar pada periode yang sama.
Gelombang jual asing pekan lalu menjadi kelanjutan pekan sebelumnya ketika hasil Pilpres AS memunculkan Donald Trump sebagai pemenang. Pekan sebelumnya, net sell asing melampaui Rp10 triliun.
Tren jual asing yang terus berlanjut membuat nilai capital inflows atau arus masuk modal asing ke Indonesia mengecil nilainya.
BI mencatat, sepanjang tahun ini hingga data setelmen per 14 November lalu, asing mencatat posisi net buy Rp30,88 triliun di pasar saham, Rp37,29 triliun di pasar SBN dan Rp192,98 triliun di SRBI.
Sementara bila dihitung sejak semester II-2024 hingga 14 November, posisi net buy asing juga mengempis tinggal Rp30,54 triliun di pasar saham, lalu sebesar Rp71,24 triliun di pasar SBN dan senilai Rp62,63 triliun di SRBI.
Bandingkan dengan posisi hingga 4 November lalu di mana asing masih mencatat net buy di pasar saham sebesar Rp38,17 triliun. Sementara di pasar SBN dan SRBI, posisinya relatif stabil.
Tekanan bursa saham
Sepanjang pekan lalu, indeks saham mencatat penurunan 1,73%. Itu menjadi tren penurunan IHSG pekan keempat beruntun sejak akhir bulan lalu.
Saham-saham berkapitalisasi besar dan perbankan terus tertekan arus jual asing. Salah satu penyebabnya selain sentimen pasar global seputar suku bunga juga perkembangan ekonomi China, tekanan yang dihadapi indeks juga karena faktor domestik.
Laporan Greed and Fear Jefferies, seperti dilansir dari media lokal, menyebut, indeks saham global MSCI menurunkan bobot Indonesia jadi 1,5% pada November ini dibanding tadinya sebesar 2% pada Januari lalu.
Penurunan bobot tersebut sejatinya sudah terjadi sejak Juni lalu. Namun, pada Oktober, bobotnya sempat naik sejak 1,6%. Penurunan bobot di MSCI itu akhirnya diikuti oleh penurunan rekomendasi oleh Jefferies.
Pada Januari lalu, rekomendasi bobot aset Indonesia dalam portfolio sekuritas masih sebesar 6%, lalu turun jadi 4% pada Oktober dan pada bulan ini makin kempis jadi tinggal 2,5%.
Minat asing yang makin menguap di pasar saham juga terjadi ketika sentimen buruk masih membebani saham-saham terutama bank. Keketatan likuiditas ditengarai masih dihadapi oleh perbankan akibat masih tingginya tingkat bunga SRBI bahkan ketika bunga acuan BI rate sudah sempat diturunkan pada September lalu.
Tren keketatan itu sepertinya akan berlanjut setelah dalam lelang SRBI pada Jumat lalu, BI mengerek bunga diskonto ke level tertinggi sejak pertengahan September.
bunga SRBI yang bertahan tinggi pada akhirnya memantik mahalnya biaya dana (cost of fund) yang ditanggung oleh perbankan maupun pemerintah sebagai penerbit surat utang. Para bankir sudah banyak mengeluhkan hal tersebut.
Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi dalam Rapat Kerja bersama DPR-RI pekan lalu, mengungkapkan, saat ini kondisi likuiditas perbankan ketat padahal suku bunga acuan dalam tren menurun. Hal itu mendorong biaya dana tetap tinggi. “Ini karena level SRBI terus menawarkan yield lebih tinggi,” kata Darmawan.
Mengacu hasil asesmen terakhir BI terhadap Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) perbankan yang dilansir medio bulan lalu, terindikasi bahwa Harga Pokok Dana untuk Kredit (HPDK) mencatat kenaikan terbatas pada Agustus lalu, sebesar 3 bps ke 3,71% dibanding bulan sebelumnya. Sementara selama Januari-Agustus, HPDK mencatat kenaikan 23 bps.
Berdasarkan kelompok bank, kenaikan HPDK pada kuartal-III dengan data sampai Agustus 2024, terjadi pada kelompok BUMN sebesar 5 bps, lalu bank asing 5 bps dan bank swasta nasional 2 bps. "Kenaikan HPDK terjadi seiring dengan tren berlanjutnya kenaikan suku bunga dana pihak ketiga (DPK) rupiah yang berlangsung sejak bulan Juli 2023," jelas Bank Indonesia.
(rui)