Menurut Riefky, kenaikan tarif PPN menjadi 12% dapat berdampak terhadap daya saing Indonesia, terutama di sektor-sektor pariwisata. Sebab, wisatawan asing akan menganggap berkunjung ke Indonesia lebih mahal dibandingkan ke negara tetangga yang memiliki tarif pajak lebih rendah.
Begitu juga dengan investasi asing, akan turut berpengaruh atas kenaikan tarif PPN sebab investor lebih mencari negara dengan lingkungan pajak yang lebih menguntungkan.
“Selain itu, peningkatan biaya produksi yang terkait dengan PPN yang lebih tinggi dapat mengurangi daya saing ekspor Indonesia di pasar global,” ungkap Riefky.
Riefky juga membeberkan tantangan implementasi kenaikan tarif PPN menjadi 12%, menurutnya peningkatan tarif tersebut dapat menyulut peningkatan penghindaran pajak berupa tax avoidance atau tax evasion.
Utamanya pada sektor-sektor dengan tingkat informalitas yang tinggi, atau sektor dengan pengawasan perpajakan yang terbilang terbatas
“Risiko ini mengancam melemahkan tujuan pendapatan pemerintah dan mempersulit upaya penegakan hukum, sehingga berpotensi mengimbangi manfaat yang diharapkan dari kenaikan tarif PPN,” tegas Riefky.
Sebagai informasi, kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025 sepertinya akan benar-benar terwujud tanpa halangan, meski akan membebani masyarakat. Pasalnya, hal ini sudah tertuang dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan implementasi dari UU HPP tersebut harus dipersiapkan sedemikian rupa agar dapat berjalan. Terlebih, aturan tersebut telah dibahas dan dirumuskan jauh-jauh hari.
“Jadi kami di sini sudah dibahas dengan bapak-ibu sekalian, sudah ada UU-nya, kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik,” ucap Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI, Rabu (13/11/2024).
(ain)