Meskipun proporsi PPN yang ditanggung rumah tangga kaya lebih besar, namun kenaikan tarif PPN menjadi 11% memberi beban lebih berat bagi rumah tangga miskin karena poin persentase kenaikan yang lebih tinggi.
Apabila dibandingkan pada periode 2022 - 2023 dengan periode 2020 - 2021 maka rumah tangga miskin atau 20% kelompok terbawah mengalami peningkatan porsi pengeluaran untuk PPN sebesar 0,71%. Sementara rumah tangga kaya hanya 0,55%.
Fenomena tersebut juga terlihat pada perhitungan berdasarkan kelas pendapatan, Riefky menjelaskan bahwa dalam kurun waktu 2020 - 2023 kelompok termiskin mengalami peningkatan poin persentase pengeluaran PPN sebesar 0,84 poin persentase.
Selanjutnya, kelompok rentan 0,87 poin persentase. Sementara kelompok menengah tercatat mengalami kenaikan lebih rendah yakni 0,61 poin persentase. Serupa, kelompok terkaya juga hanya naik 0,61 poin persentase.
“Skenario ini dapat memperburuk tingkat kemiskinan dan memperlebar kesenjangan sosial, mendorong lebih banyak orang ke bawah garis kemiskinan dan semakin membebani kelompok-kelompok rentan,” tegas Riefky.
Sebagaimana diketahui, kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025 sepertinya akan benar-benar terwujud tanpa halangan, meski akan membebani masyarakat. Pasalnya, hal ini sudah tertuang dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan implementasi dari UU HPP tersebut harus dipersiapkan sedemikian rupa agar dapat berjalan. Terlebih, aturan tersebut telah dibahas dan dirumuskan jauh-jauh hari.
“Jadi kami di sini sudah dibahas dengan bapak-ibu sekalian, sudah ada UU-nya, kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik,” ucap Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI, Rabu (13/11/2024).
(ain)