Skrining berbasis gejala ini bisa dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih atau kader kesehatan, dan dapat diterapkan di fasilitas layanan kesehatan primer, komunitas, serta dalam kegiatan posyandu atau klinik mobile.
"Pendekatan ini memungkinkan deteksi kasus-kasus yang dicurigai TB dengan biaya yang sangat rendah sebelum dilakukan tes diagnostik lebih lanjut,"kata Dicky dalam keterangan tertulis, dikutip pada Jumat (15/11/2024).
2. Pemanfaatan Tes Diagnostik Cepat dan Efisien seperti Xpert MTB/RIF
Tes molekuler seperti Xpert MTB/RIF sangat disarankan oleh WHO untuk mendeteksi TB dan resistensi rifampisin secara cepat. Tes ini lebih akurat daripada mikroskopis dahak tradisional dan memberikan hasil dalam beberapa jam.
Untuk memaksimalkan efisiensi, tes ini bisa dilakukan hanya pada pasien yang teridentifikasi melalui skrining berbasis gejala sebagai “kasus suspek,” sehingga menurunkan jumlah tes yang diperlukan.
"Pusat-pusat layanan kesehatan bisa menggunakan satu atau beberapa unit Xpert untuk wilayah yang lebih luas, dan mengumpulkan sampel dahak di fasilitas terdekat untuk kemudian dikirimkan ke pusat pemeriksaan dengan jadwal tertentu,"urai Dicky.
3. Melibatkan Kader Kesehatan dalam Skrining dan Pemantauan
Pelatihan kader kesehatan sangat penting dalam strategi skrining berbasis komunitas. Kader bisa berfungsi sebagai garda depan dalam mengidentifikasi kasus suspek TB di lingkungan masyarakat, terutama di daerah-daerah yang sulit dijangkau.
Mereka juga bisa dilatih untuk melakukan pemantauan gejala, membantu edukasi, dan memotivasi masyarakat untuk memeriksakan diri. Pendekatan berbasis komunitas ini efektif karena kader lebih mengenal lingkungan lokal dan bisa menjangkau populasi yang mungkin tidak pergi ke fasilitas kesehatan.
4. Penggunaan Mobile Clinics untuk Skrining Daerah Terpencil
Mengoperasikan mobile clinics atau klinik bergerak yang dapat mendatangi daerah-daerah terpencil memungkinkan pemeriksaan TB dengan biaya operasional yang relatif rendah. Klinik bergerak dapat dilakukan secara berkala untuk menjangkau daerah dengan tingkat prevalensi tinggi atau akses layanan kesehatan yang minim.
Mobile clinics dapat dilengkapi dengan peralatan skrining berbasis gejala, Xpert MTB/RIF (jika memungkinkan), atau fasilitas pengambilan sampel dahak untuk dibawa ke fasilitas kesehatan yang memiliki alat diagnostik.
5. Menggunakan Alat Pemantau Pengobatan dan Kepatuhan untuk Pencegahan Penularan
Setelah skrining dan diagnosis dilakukan, sangat penting untuk memastikan pasien TB menyelesaikan pengobatan mereka, sehingga penularan dapat dicegah. Program DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course) bisa dilakukan dengan memanfaatkan kader kesehatan atau teknologi sederhana seperti SMS untuk memastikan pasien meminum obat sesuai jadwal.
Kepatuhan pengobatan bisa diperkuat dengan dukungan komunitas atau insentif kecil bagi pasien yang menyelesaikan pengobatan, untuk mencegah munculnya TB resisten obat yang jauh lebih sulit diobati.
6. Skrining Target pada Populasi Berisiko Tinggi
Mengarahkan skrining pada populasi yang memiliki risiko tinggi TB dapat meningkatkan efisiensi. Populasi berisiko termasuk orang yang pernah kontak dengan pasien TB aktif, penderita HIV/AIDS, narapidana, pekerja migran, dan orang yang tinggal di kawasan padat penduduk.
Skrining pada kelompok ini bisa dilakukan dengan menggunakan gejala dan tes diagnostik cepat (seperti Xpert) untuk memaksimalkan deteksi kasus aktif.
7. Penggunaan Teknologi Digital untuk Pengumpulan Data dan Pelaporan
Pengumpulan data dan pelaporan yang efisien bisa membantu dalam memantau dan mengelola program skrining TB. Menggunakan aplikasi sederhana pada ponsel atau platform berbasis web untuk melaporkan kasus suspek, pengambilan sampel, dan pelaporan hasil memungkinkan sistem kesehatan untuk mengoptimalkan sumber daya dan memantau kasus dengan lebih baik.
Penggunaan teknologi ini membantu memastikan pasien yang terkonfirmasi TB mendapatkan pengobatan dan membantu petugas kesehatan melacak kontak atau memberikan pemantauan tindak lanjut.
8. Kemitraan dan Pendanaan Internasional
Mengingat keterbatasan anggaran, pemerintah bisa mencari dukungan dari lembaga internasional seperti Global Fund, WHO, dan organisasi nirlaba yang menyediakan bantuan untuk program TB di negara berkembang.
Pendanaan ini bisa digunakan untuk melengkapi perangkat diagnostik, pelatihan staf, dan program mobile clinic yang sangat membantu dalam kondisi keterbatasan anggaran.
(dec/spt)