Mengacu data terbaru yang dilansir BI hari ini, posisi ULN RI per akhir kuartal III-2024 mencapai US$427,8 miliar, naik 8,3% year-on-year. Lonjakan itu terutama karena kenaikan tajam ULN sektor publik yakni pemerintah dan bank sentral. Posisi ULN bank sentral sudah naik tajam 198% dibanding ketika SRBI belum diterbitkan. Nilainya per kuartal III-2024 mencapai US$27,64 miliar.
Berdasarkan publikasi lelang SRBI yang digelar hari ini, tercatat nilai penawaran masuk dari investor sebesar Rp27,81 triliun. Nilai itu anjlok tajam dibanding lelang pekan sebelumnya yang mencapai Rp49,61 triliun. Investor juga meminta imbal hasil lebih tinggi yaitu di kisaran 7%-7,25% untuk tenor terpanjang yang jadi favorit, yaitu SRBI 12 bulan.
Minat yang melemah ditambah imbal hasil diminta lebih tinggi, akhirnya membuat BI menetapkan yield rata-rata dimenangkan untuk SRBI-12M sebesar 7,07%. Sementara untuk tenor lebih pendek, yaitu SRBI-6M dan SRBI-9M, yield dimenangkan di angka stabil.
BI memutuskan nilai penjualan SRBI dalam lelang hari sebesar Rp20 triliun karena animo yang lebih kecil. Nilai penerbitan itu juga turun dibanding lelang sebelumnya sebesar Rp30 triliun.
Sejak September 2023 hingga akhir Oktober lalu, BI sudah menerbitkan SRBI senilai Rp960,66 triliun. Dari angka itu, sebanyak Rp262,2 triliun SRBI dikuasai oleh investor asing, setara 27% dari outstanding di pasar sekunder. Perbankan domestik masih jadi penguasa terbesar SRBI dengan kepemilikan mencapai Rp586,3 triliun.
Sejak SRBI diterbitkan mulai 15 September 2023, rupiah masih mencatatkan pelemahan sebesar 3,23% sampai hari ini. Level terlemah rupiah terjadi pada 21 Juni lalu di Rp16.450/US$ dan rata-rata bergerak di kisaran Rp15.763/US$ pada periode tersebut.
Likuiditas perbankan ketat
Langkah BI mengandalkan lagi SRBI untuk menahan arus keluar modal asing yang makin tinggi di pasar saham dan surat utang negara, di satu sisi memang dibutuhkan demi menstabilkan nilai rupiah. Rupiah kian rentan sejak hasil Pilpres AS memenangkan Donald Trump yang memantik risiko baru bagi arah kebijakan bunga global di masa mendatang.
Hanya saja, kehadiran SRBI juga melahirkan masalah lain yang tak kalah 'berbahaya'. Ditengarai terjadi efek crowding out di pasar keuangan, di mana yield tinggi SRBI telah menyedot dana pemodal ramai-ramai mengerumuni SRBI meninggalkan pasar saham dan surat utang negara. Dengan kata lain, terjadi perebutan likuiditas di pasar dan berdampak pula pada penurunan target penyaluran kredit perbankan.
Data terakhir yang dilansir oleh Bank Indonesia mencatat, pertumbuhan kredit pada September masih tinggi meski lajunya melambat, tumbuh 10,4% setelah sempat menyentuh 11,7% pada Juli.
Selain itu, bunga SRBI yang bertahan tinggi pada akhirnya memantik mahalnya biaya dana (cost of fund) yang ditanggung oleh perbankan maupun pemerintah sebagai penerbit surat utang. Para bankir sudah banyak mengeluhkan hal tersebut.
Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi dalam Rapat Kerja bersama DPR-RI pekan lalu, mengungkapkan, saat ini kondisi likuiditas perbankan ketat padahal suku bunga acuan dalam tren menurun. Hal itu mendorong biaya dana tetap tinggi. “Ini karena level SRBI terus menawarkan yield lebih tinggi,” kata Darmawan.
Tingginya yield SRBI memunculkan persepsi bahwa masyarakat bisa menempatkan dana di instrumen yang memberikan bunga tinggi di luar produk-produk perbankan seperti tabungan, deposito, dan giro.
“Saat ini tren penurunan suku bunga tidak diikuti reaksi pasar karena masyarakat melihat ada channel yang memberikan ekspektasi yield yang tinggi. Tren suku bunga turun tetapi secara agregat cost of fund semua bank meningkat,” kata dia.
Arah kebijakan bunga
Rupiah kembali menderita pelemahan sejak hasil Pilpres AS menempatkan pasar dalam ketidakpastian baru akan arah suku bunga acuan global. Inflasi AS diprediksi akan kembali bangkit di bawah Pemerintahan Donald Trump yang akan mematahkan lintasan penurunan bunga The Fed ke depan.
Pada hari ini, rupiah nyaris menjebol Rp16.000/US$ gara-gara sinyal hawkish yang keluar dari Gubernur The Fed Jerome Powell. Intervensi BI menahan rupiah saat ini di kisaran Rp15.865/US$, masih menjadi valuta dengan pelemahan terdalam di Asia hingga jelang penutupan pasar spot valuta.
Di sisi lain, rupiah minim sokongan dari domestik seiring dengan kinerja neraca dagang yang surplusnya melemah ke level terendah dalam tiga bulan terakhir, akhir lonjakan impor yang melampaui kinerja ekspor.
Kajian yang pernah dilansir oleh Mega Capital Sekuritas mencatat, ada potensi pelebaran defisit transaksi berjalan hingga sebesar -0,75% dari PDB pada kuartal III. Angka itu lebih lebar dibanding kuartal II sebesar -0,58% akibat berlanjutnya overheating perekonomian domestik.
"Kami melihat ada peningkatan risiko terjadinya twin deficit. Masalah defisit kembar yang semakin parah akan meningkatkan volatilitas rupiah, yang pada gilirannya akan mempersulit arah penurunan suku bunga BI di masa depan," kata Lionel Priyadi, Macro Strategist Mega Capital.
BI rate kemungkinan akan kembali ditahan pada pertemuan BI pekan depan karena rupiah masih terlalu rapuh. BI rate yang tetap di level tinggi menjadi kabar buruk bagi perekonomian domestik yang sejauh ini telah terperosok pelemahan daya beli dan membutuhkan pelonggaran moneter.
(rui)