"Tantangan kita adalah bagaimana memperbaiki iklim usaha dan menuntaskan FTA [free trade agreement/perjanjian perdagangan bebas] dengan berbagai negara khususnya AS dan UE [Uni Eropa]. Dua faktor tersebut merupakan faktor penting yang, sayangnya, kita masih tertinggal dibandingkan dengan Vietnam, Thailand, dan Malaysia, " tegasnya.
Dihubungi secara terpisah, ekonom sekaligus pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat, justru berpandangan bilamana Trump terpilih kembali, hubungan perdagangan Indonesia-AS kata Achmad kemungkinan menghadapi tantangan lebih besar.
Trump dikenal dengan kebijakan proteksionisnya yang fokus melindungi industri dalam negeri AS melalui tarif tinggi dan hambatan dagang lainnya.
Hal ini berpotensi mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar AS, serta menurunkan akses ekspor ke sektor-sektor utama seperti tekstil dan alas kaki.
Achmad menambahkan, kebijakan Trump yang lebih protektif dapat memaksa industri Indonesia untuk mencari pasar alternatif.
"Selain itu, ketidakpastian dalam kebijakan perdagangan yang mungkin muncul dapat memengaruhi rencana ekspansi atau investasi dari pelaku industri manufaktur di Indonesia yang selama ini menargetkan pasar AS," ujarnya kepada Bloomberg Technoz beberapa waktu lalu
Sebagai catatan, selama kurang lebih 1 dasawarsa terakhir, rata-rata laju pertumbuhan PDB industri manufaktur di dalam negeri hanya berkutat sekitar 3,18%.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS), pada 2017 pertumbuhan PDB industri manufaktur mencapai masa terbaiknya yakni diangka 6,15%, tetapi pada 2020 terjadi kontraksi hingga minus 2,93%.
Setelahnya, industri manufaktur Tanah Air perlahan sempat bangkit, tetapi setahun menjelang berkahirnya masa jabatan Presiden Joko Widodo, laju pertumbuhan PDB manufaktur justru terpelanting di angka 1,92% pada 2023.
Hal ini juga didukung dengan data proporsi nilai tambah sektor industri manufaktur terhadap PDB Indonesia, di mana secara rata-rata, 10 tahun terakhir hanya berada diangka 21,09.
(prc/wdh)