Logo Bloomberg Technoz

Akan tetapi, ketika Silicon Valley Bank jatuh, Fed pun pivot di pintu belakang, menggelontorkan uang lagi ke sistem menghentikan dampak rambatan krisis perbankan. Hasilnya bisa ditebak. Neraca bank sentral paling berpengaruh di dunia itu bengkak lagi ke kisaran US$8,73 triliun pada Maret lalu.

Saat ini neraca Fed sudah sedikit berkurang di posisi US$8,61 triliun, per 26 April, menurun US$32,39 miliar dalam sepekan atau sebesar US$378,91 miliar dibandingkan posisi yang sama tahun sebelumnya. 

Dengan “permainan dua kaki” tersebut, di satu sisi quantitative tightening terus dilakukan dan diprediksi akan memuncak pada 2-3 Mei nanti saat bunga acuan naik ke 5,25%, di saat yang sama penggelontoran dana ke sistem dalam jumlah besar berlangsung agar krisis perbankan tak meluas, sedikit banyak juga telah menurunkan kekhawatiran terhadap risiko resesi di negeri adidaya tersebut.

Pinjaman Fed untuk perbankan mulai naik lagi (Bloomberg)

Terlebih capaian kinerja korporasi di negeri itu pada kuartal 1-2023 menunjukkan hasil mengesankan ditambah masih kuatnya pasar tenaga kerja dan tingkat konsumsi masyarakat. JPMorgan Chase memperingatkan tentang risiko kontraksi ekonomi di Amerika akan tetapi menurut CEO-nya Jamie Dimon, itu belum tentu terjadi bahkan jika lebih banyak lagi bank regional Amerika yang tumbang. 

“Saya tidak terkejut bahwa sejauh ini pesimisme terhadap outlook ekonomi AS belum terlalu luas. Kenyataannya, pasar lowongan kerja masih sangat kuat begitu juga konsumsi yang sejauh ini masih sangat bagus,” komentar James Athey, Direktur Investasi Abrdn, seperti dilansir Bloomberg News, Ahad (30/4.2023).

Banjir duit asing di pasar Indonesia

Orkestrasi Fed menurunkan inflasi melalui kenaikan bunga acuan sembari menggelontorkan suntikan duit bagi bank-bank bermasalah, juga berdampak ke pasar domestik. 

Aliran modal asing terus deras. Bank Indonesia mencatat, para pemodal asing mencatat aksi beli bersih di pasar keuangan domestik sejak awal tahun sampai data setelmen 27 April lalu senilai total Rp74,36 triliun, terdiri atas beli bersih Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp60,73 triliun dan beli bersih saham senilai Rp13,63 triliun.

Pemodal asing terus menambah investasi mereka di SBN rupiah (Divisi Bloomberg Technoz)

Animo asing yang tinggi menyasar aset-aset di pasar domestik itu telah mengangkat nilai tukar rupiah menguat hampir 6% point-to-point sejak posisi penutupan akhir tahun. Pada perdagangan Jumat pekan lalu, rupiah ditutup menguat di posisi Rp14.670 per dolar AS. Mata uang Indonesia bahkan keluar sebagai valuta negara berkembang paling menonjol performanya sepanjang pekan lalu. 

Bank sentral dalam pernyataan terakhir usai mengumumkan tingkat bunga BI7DRR pada 18 April lalu meyakini, penguatan rupiah akan terus berlanjut.

"Ke depan, Bank Indonesia memprakirakan Rupiah terus menguat sejalan dengan surplusnya transaksi berjalan dan berlanjutnya aliran masuk modal asing dipengaruhi prospek pertumbuhan ekonomi domestik yang tinggi, inflasi yang rendah, serta imbal hasil aset keuangan domestik yang menarik," kata Gubernur BI Perry Warjiyo.

Pada pekan pertama perdagangan bursa pasca libur panjang Lebaran pun, aliran modal global tak berhenti menyerbu. Tercatat, tiga hari perdagangan bursa, investor asing mencatat net buy hingga sebesar Rp9,75 triliun. 

Rupiah menjadi mata uang emerging market terbaik pekan ini (Bloomberg)

Sedangkan di pasar obligasi, kepemilikan asing kini sebesar Rp823 triliun per 26 April lalu. Yield atau tingkat imbal hasil untuk seri benchmark Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun terindikasi melandai mencerminkan permintaan terhadap obligasi negara itu masih tinggi. 

Pemodal asing ditengarai akan terus menaikkan porsi kepemilikan mereka di SBN hingga mendekati level sebelum pandemi. Sejauh ini nilai kepemilikan pemodal nonresiden di SBN masih di bawah 15%, bandingkan dengan 30% sebelum pandemi.

Faktor China

Kekhawatiran terhadap resesi di Amerika yang mengempis nyatanya langsung mendapatkan tamparan di belahan bumi lain. Pasar yang berharap banyak pembukaan lagi ekonomi China pasca pandemi bisa mengimbangi kesuraman perekonomian global tahun ini, dipaksa menelan harapan lebih awal. 

Aktivitas manufaktur China secara tak terduga mengalami kontraksi pada bulan April, yang merupakan pertanda negara ini kesulitan mempertahankan momentum pemulihan ekonomi.

PMI China (Sumber: Bloomberg)

Biro Statistik Nasional China pada Minggu (30/04/2023) mengumumkan Indeks pembelian manufaktur (Purchasing Managers’ Index/PMI) negara itu pada April turun menjadi 49,2 dari 51,9 pada Maret. Angka itu lebih rendah dari perkiraan rata-rata para ekonom yang sebesar 51,4 dalam survei Bloomberg.

Ketidakpastian masih ada soal apakah China dapat mempertahankan pemulihan mereka. Rebound sektor properti baru saja dimulai, sementara investasi terus turun. Perusahaan industri kesulitan untuk menghasilkan keuntungan. Pengangguran kaum muda juga mendekati rekor tertinggi.

Indeks acuan untuk saham negara berkembang, MSCI Emerging Markets Index, tidak hanya mencatat kerugian lebih dari 7% sejak puncaknya di bulan Januari, tetapi juga berkinerja paling buruk di bawah kinerja pasar saham negara maju dalam tiga tahun. 

Saham China telah menyumbang 70% dari kerugian tersebut, menghilangkan setidaknya US$750 miliar nilai pasar. Aksi jual menyebar ke negara-negara dengan hubungan perdagangan terdekat dengan China, seperti Korea Selatan dan Afrika Selatan.

“Meskipun data masih mendukung pemulihan China, kami tentu saja masih sedikit lebih skeptis dan melihat apakah pemulihan itu nyata,” kata Wilfred Wee, manajer uang di Ninety One Singapore Pte Ltd., dalam wawancara di Bloomberg TV.

Dejavu 2009 dan 2013

Orkestrasi itu menyalakan lagi ingatan ketika Fed melakukan quantitavive easing dengan menempuh pembelian obligasi pasca krisis finansial global 2008 yang menjebak AS dalam resesi. Kebijakan QE ditempuh untuk membangkitkan Amerika dari resesi yang pahit kala itu. Banjir uang pun mengalir ke pasar di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Namun, ketika 2013 Fed mengumumkan kebijakan pengurangan pembelian obligasi alias tapering off, dana asing langsung minggat massal dari pasar domestik, menyeret turun indeks saham dan harga obligasi.

Hal yang sama bisa kembali terjadi bila pelonggaran moneter yang kembali dilakukan oleh Fed karena krisis bank, berbalik lagi menjadi pengetatan secara agresif. Terutama bila data dari sektor ketenagakerjaan AS masih terlalu tangguh. Dana asing yang sudah mengalir deras di pasar domestik dapat kembali mengalir keluar.

Di sini, upaya mitigasi dari bank sentral dan pemerintah akan sangat ditunggu. Tak lain agar ketika angin berbalik lagi dan menyedot duit asing keluar dari pasar domestik, hantaman terhadap stabilitas perekonomian dalam negeri jangan sampai terlalu besar. Terlebih ketika bonanza dari harga komoditas diperkirakan akan semakin surut. Meski surplus neraca dagang masih berlangsung 35 bulan tak putus, akan tetapi tren penurunan nilai surplus juga mengindikasikan bahwa "pesta" hampir usai.

Sejatinya ada beberapa "persiapan" yang sejauh ini masih dalam proses. Salah satunya rencana pemerintah mewajibkan parkir devisa hasil ekspor (DHE) yang dikabarkan akan mulai berlaku Juli nanti dengan nilai penempatan minimal US$250.000 dalam jangka waktu minimal yang belum jelas.

Sebelum regulasi itu menjadi kenyataan, BI sudah melangsungkan lelang Term Deposito Valas DHE sejak awal Maret dan berhasil menarik dolar AS senilai total US$638,05 juta atau setara Rp9,24 triliun (asumsi kurs Rp14.754,15/US$), sampai 27 April lalu.

(rui/roy)

No more pages