"Sebenarnya di UU Minerba, [...] yang berhak untuk memberikan prioritas itu negara boleh. Cuma selama ini dikunci di pasal [yang menyatakan] hanya BUMN dan BUMD," ujar Bahlil dalam agenda rapat kerja bersama dengan Komisi XII DPR, dikutip Kamis (14/11/2024).
Sekadar catatan, Pasal 6 Ayat 1 J UU No. 3/2020 mengatur bahwa pemerintah pusat dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara berwenang melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas.
Selain itu, Pasal 75 Ayat 3 beleid itu mengatur bahwa BUMN atau BUMD mendapatkan prioritas dalam mendapatkan izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Bahlil juga mengeklaim pemerintah melalui direktur jenderal dan ahli hukum di pemerintahan sudah menguji hal tersebut dan sudah melalui diskusi panjang di rapat terbatas (ratas) beberapa kali.
"Oleh dirjen dan orang hukum di pemerintahan, itu kemudian diuji. Itu bukan tanpa diskusi, diskusi panjang, lewat ratas beberapa kali. Kemudian dilakukan harmonisasi berkali-kali," ujarnya.
Sebagai informasi, seorang advokat sekaligus dosen, Rega Felix, mengajukan pengujian materiil Pasal I angka 4 yang memuat perubahan Pasal 6 ayat (1) huruf j dan Pasal I angka 26 yang memuat perubahan Pasal 35 ayat (1) UU Minerba terhadap UUD '45 ke MK.
Sidang perdana Perkara Nomor 77/PUU-XXII/2024 dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno MK pada Rabu (24/7/2024).
Rega mengatakan kebijakan penawaran WIUPK secara prioritas kepada ormas keagamaan tidak memenuhi parameter untuk dapat diterapkan sebagai kebijakan afirmatif berdasarkan UUD 1945.
"Sejatinya pemerintah masih dapat melaksanakan penawaran secara prioritas sepanjang tidak menggunakan pertimbangan berdasaran suku, agama, ras, dan antargolongan. Jika prioritas tersebut diberikan berdasarkan pertimbangan tersebut, maka telah jelas bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Karena makna “prioritas” dalam norma pasal yang diuji tidak jelas batasannya dan dapat menciptakan self-reference norm kepada presiden," ujarnya melalui siaran pers, dikutip melalui situs resmi MK.
Selain itu, Tim Advokasi Tolak Tambang —yang terdiri dari para tokoh, akademisi, dan beberapa lembaga swadaya masyarakat — secara resmi mendaftarkan permohonan judicial review Peraturan Pemerintah No. 25/2024 ihwal pemberian prioritas izin tambang bagi badan usaha organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan.
Permohonan judicial review itu disampaikan kepada Mahkamah Agung (MA) pada hari ini, Selasa (1/10/2024).
Dalam permohonannya, Tim Advokasi Tolak Tambang mendalilkan PP No. 25/2024 bukan hanya cacat secara hukum, tetapi juga berpotensi menjadi arena transaksi (suap) politik.
Pemberian izin tambang tanpa lelang kepada badan usaha ormas keagamaan dinilai menyalahi Pasal 75 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang No. 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Dengan demikian, Tim Advokasi menuntut ormas keagamaan untuk tetap fokus pada pembinaan dan pelayanan umat.
“Kita harus menyelamatkan ormas keagamaan ini, mengapa? Karena kalau dibiarkan, maka akan menjadi preseden buruk kedepannya, di mana lahan tambang akan selalu dijadikan alat transaksi untuk pembungkaman politik oleh pemerintah. Ke depannya, bisa jadi giliran ormas-ormas yang lain, seperti ormas di bidang industri, profesi, dan lain sebagainya. Oleh karenanya, Tim Advokasi Tolak Tambang, akan terus mengawal perjuangan ini,” ujar M Raziv Barokah, perwakilan Kuasa Hukum Para Pemohon dalam siaran pers, Selasa (1/10/2024).
(dov/wdh)