Salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi keuangan BPJS Kesehatan adalah pandemi COVID-19 yang mengubah struktur pembiayaan layanan kesehatan. Pada masa pandemi, pemerintah mengambil alih pembiayaan untuk seluruh biaya perawatan pasien COVID-19 melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Ini menyebabkan pengeluaran klaim rumah sakit menurun drastis, mengurangi beban keuangan BPJS Kesehatan. Pada tahun 2020, misalnya, BPJS Kesehatan menerima iuran sebesar Rp 133,94 triliun, sementara kewajiban pembayaran klaim hanya Rp 95,51 triliun.
Namun, setelah pandemi mereda, proyeksi biaya layanan kesehatan kembali meningkat seiring dengan tingginya jumlah klaim. Pada tahun 2024, BPJS Kesehatan mengalokasikan dana sebesar Rp 176 triliun untuk biaya jaminan layanan kesehatan dengan proyeksi pemasukan iuran sebesar Rp 160 triliun. Meskipun demikian, defisit masih akan terjadi jika tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, menyebutkan bahwa jumlah klaim atau utilitas harian layanan kesehatan kini mencapai 1,7 juta klaim per hari. Angka ini meroket tajam dibandingkan dengan angka klaim pada awal penerapan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tahun 2014 yang hanya sekitar 252 ribu klaim per hari.
Kenaikan signifikan ini mencerminkan peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap layanan kesehatan, yang berujung pada meningkatnya beban bagi BPJS Kesehatan.
Ali Ghufron mengungkapkan bahwa meskipun BPJS Kesehatan masih memiliki kekuatan aset netto untuk membayar klaim rumah sakit hingga akhir 2025, namun tanpa adanya kebijakan yang tepat, BPJS Kesehatan akan kesulitan pada tahun 2026.
"Pada 2026, jika tidak ada kebijakan penyesuaian, BPJS Kesehatan bisa mengalami kesulitan dalam membayar klaim," ujar Ghufron.
Dalam kondisi ini, kebijakan yang tepat perlu segera diterapkan agar BPJS Kesehatan tidak menghadapi defisit yang lebih dalam.
Menyikapi potensi gagal bayar ini, anggota Komisi IX DPR, Edy Wuryanto, berpendapat bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan merupakan langkah yang tidak terhindarkan. Kenaikan ini dinilai perlu untuk menyesuaikan dengan inflasi medis yang terus meningkat. Pada tahun 2023, inflasi medis tercatat mencapai 13,6%. Oleh karena itu, penyesuaian iuran dipandang sebagai langkah yang harus segera dilakukan untuk menjaga keberlanjutan program jaminan kesehatan nasional (JKN).
Edy Wuryanto juga menjelaskan bahwa kenaikan iuran dapat dilakukan setiap dua tahun, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 38 ayat 1 Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. "Secara yuridis, memang sudah waktunya untuk menaikkan iuran," kata Edy.
Selain meningkatnya inflasi medis, beberapa faktor lain juga mendukung perlunya kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Salah satunya adalah kenaikan tarif INA CBGs (Indonesia Case Base Groups), yang merupakan paket tarif yang dibayarkan BPJS Kesehatan ke rumah sakit. Selain itu, biaya kapitasi yang dibayarkan BPJS Kesehatan ke fasilitas kesehatan tingkat pertama, seperti Puskesmas dan klinik, juga mengalami kenaikan. Dengan semakin tingginya biaya-biaya ini, BPJS Kesehatan dihadapkan pada peningkatan pembiayaan yang signifikan dalam menjalankan program JKN.
(seo)