Logo Bloomberg Technoz

Berkaca pada hal tersebut, Roy berharap agar pemerintah tidak segera menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% dalam waktu dekat atau pada 2025. Menurutnya, kenaikan PPN bisa makin membebani daya beli masyarakat yang sedang dalam pemulihan, pasca momentum deflasi selama 5 bulan beruntun.

Dia menegaskan, dengan menahan kenaikan PPN, diharapkan daya beli masyarakat bisa pulih terlebih dahulu, sehingga sektor ritel dapat berkembang lebih stabil dan berkontribusi pada pemulihan ekonomi.

"PPN itu harus ditangguhkan. Minimal satu tahun ke depan, atau kalau bisa 2 tahun. Karena sekarang minimal daya belinya [masyarakat] bisa kembali dulu," harapnya.

Kepastian kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% sendiri tidak kunjung menemui titik terang, padahal dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpahakan (HPP) dijelaskan bahwa tarif PPN sebesar 12% berlaku paling lambat 1 Januari 2025.

Hingga saat ini pemerintah belum menentukan akan melaksanakan atau menunda kebijakan PPN tersebut, lantaran Presiden Prabowo Subianto belum menerbitkan aturan turunan dari UU tersebut.

Bahkan, ketika ditemui awak media di Kompleks DPR RI awal pekan ini, Sekretaris Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Teni Widuriyanti menyatakan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025 telah mengakomodir visi-misi Presiden Prabowo Subianto, termasuk komponen penerimaan negara.

Terkait dengan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, Teni enggan memastikan bahwa hal itu turut diperhitungkan dalam penyusunan target penerimaan atau tidak. Dia hanya menyatakan bahwa beberapa kebutuhan atau target Prabowo telah diakomodasi.

"Tapi kayaknya sudah mengakomodasi kebutuhan menuju visi-misi yang baru sudah mulai transisi menuju kesana, beberapa sudah diakomodasi," ucap Teni.

(prc/wdh)

No more pages