Bank Dunia mengestimasikan penurunan konsumsi batu bara bakal terjadi pada 2025 dan makin parah pada 2026, menyusul proyeksi kemerosotan permintaan dari China, Eropa, dan Amerika Serikat (AS). Bank Dunia melandasi proyeksi penurunan permintaan batu bara di China, Eropa, dan AS pada 2026 dengan faktor makin banyaknya pembangkit listrik dari energi baru-terbarukan (EBT) dan gas alam untuk menggantikan pembangkit berbasis batu bara.
Bank Dunia menggarisbawahi peningkatan permintaan batu bara masih terjadi pada tahun ini, seiring dengan konsumsi yang cukup besar dari India serta China yang digadang-gadang mampu mengompensasi penurunan permintaan dari Eropa. Namun, konsumsi batu bara global diperkirakan mulai menyusut pada 2025, di mana permintaan dari China menurun dan pertumbuhan permintaan India diproyeksikan melambat.
"Jika perkiraan ini terbukti akurat, konsumsi batu bara global akan mencapai puncaknya pada 2024, menandai tonggak penting dalam transisi energi global," tulis Bank Dunia dalam laporannya.
Impor Teredam Kontraksi Manufaktur
Sementara di sisi impor. konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg dengan melibatkan 19 ekonom/analis menghasilkan median proyeksi pertumbuhan pada Oktober sebesar 7,26% yoy. Melambat dibandingkan September yang tumbuh 8,55% yoy.
Perlambatan impor sepertinya adalah konsekuensi dari dari kelesuan industri manufaktur Tanah Air. Sebab, lebih dari 90% impor Indonesia adalah bahan baku/penolong dan barang modal untuk keperluan industri dalam negeri. Jadi saat industri lesu, maka impor juga begitu.
S&P Global melaporkan aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) sektor manufaktur di Tanah Air berada di 49,2 untuk periode Oktober. Sama persis, tidak berubah dibandingkan September.
PMI di bawah 50 mencerminkan aktivitas yang berada di zona kontraksi, tidak ekspansi. Dengan demikian, aktivitas manufaktur Indonesia sudah berada di zona itu sejak Juli dan belum mampu bangkit.
Neraca Dagang Surplus Lagi
Konsensus pasar yang dihimpun Bloomberg dengan melibatkan 18 ekonom/analis menghasilkan median proyeksi untuk neraca perdagangan membukukan surplus US$ 3,09 miliar. Lebih rendah dibandingkan surplus September yang sebesar US$ 3,26 miliar.
Meski begitu, surplus neraca perdagangan Indonesia bisa menjadi 54 bulan berturut-turut jika Oktober positif lagi. Kali terakhir neraca perdagangan membukukan defisit adalah ada April 2020.
Meski surplus terjadi selama lebih dari 4 tahun, tetapi ini bukan rekor terpanjang. Surplus terpanjang pernah terjadi 152 bulan berturut-turut pada Juni 1995-April 2008.
Akhir pekan lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berpesan bahwa Indonesia harus waspada terhadap berbagai isu di sektor perdagangan internasional.
“Kita lihat trade menjadi salah satu isu yang paling menonjol, paling contentious, paling tegang dari pergaulan antar-negara. Sekarang hampir semua negara tidak segan menggunakan tarif atau dalam hal ini perang dagang dalam menjaga industri maupun perekonomian masing-masing,” tegas Sri Mulyani.
(aji)