Para pelaku pasar terlihat masih mewaspadai rilis data inflasi Indeks Harga Produsen AS nanti malam.
Data inflasi tadi malam sejatinya masih sesuai ekspektasi pasar. Namun, data itu juga memperlihatkan laju inflasi inti tahunan menjadi yang tercepat sejak April.
Para pelaku pasar juga masih optimistis The Fed akan melanjutkan pemangkasan bunga acuan pada FOMC bulan depan sebesar 25 bps dengan probabilitas mencapai 80% dari tadinya hanya 56%.
Meski demikian, data inflasi IHK yang diumumkan semalam juga menunjukkan lambatnya penurunan laju inflasi di negeri dengan ukuran ekonomi terbesar itu.
Ada potensi perlambatan laju penurunan bunga The Fed pada tahun depan, ketika Trump resmi menjabat, karena kebijakan yang berpotensi melejitkan lagi tekanan harga di negara terbesar itu.
Itu yang mendorong para pedagang surat utang AS masih banyak melepas Treasury jangka panjang sampai jelang siang hari ini.
Yield UST-10Y kini sudah naik 4,7 bps ke 4,47%. Begitu juga UST-30Y naik 8,7 bps ke 4,65%. Sementara tenor pendek 2Y turun 2,5 bps ke 4,31%.
Selisih imbal hasil investasi Treasury dengan surat utang RI menyempit di 244 bps. Jauh dari kisaran yang dianggap atraktif, sekitar 300 bps. Namun, yield spread saat sudah lebih baik dibanding pekan lalu ketika angkanya sempat menyentuh 230 bps.
Pernyataan Pejabat Fed
Pernyataan beberapa pejabat The Fed kemarin juga membuat pasar diliputi kecemasan dalam memproyeksikan arah kebijakan bunga AS.
Beberapa pejabat The Fed kemarin menyampaikan ketidakpastian mendalam mereka terkait seberapa jauh bank sentral perlu menurunkan suku bunga.
Setelah mereka menyoroti kesulitan yang dihadapi para pembuat kebijakan dalam menentukan pengaturan yang tepat untuk menjaga keseimbangan ekonomi.
"Sekarang adalah waktu yang tepat untuk mulai mengurangi ketatnya kebijakan moneter, namun masih harus dilihat seberapa jauh suku bunga akan turun atau di mana mereka akan stabil nantinya," kata Gubernur The Fed Kansas City Jeff Schmid dalam acara konferensi di Dallas, dilansir oleh Bloomberg.
Banyak pejabat The Fed meyakini tingkat bunga netral, yakni tingkat di mana suku bunga tidak mendorong atau menekan pertumbuhan ekonomi, kemungkinan telah meningkat sejak pandemi.
"Yang penting, ketidakpastian tentang tingkat netral juga meningkat, mungkin karena perubahan struktural dalam ekonomi relatif baru dan akan membutuhkan waktu untuk dinilai sepenuhnya," kata Gubernur The Fed Dallas Lorie Logan dalam konferensi yang sama.
Logan menilai, meskipun penurunan suku bunga mungkin dibutuhkan lebih banyak, namun para pembuat kebijakan perlu melakukannya secara bertahap karena ketidakpastian mengenai seberapa ketat kebijakan moneter saat ini. “Saya rasa bijaksana bagi kita untuk bergerak hati-hati saat ini,” ujar Logan.
Efek Trump
Keterpilihan lagi Trump sebagai Presiden AS, setelah sebelumnya menjabat pada 2017-2021, dinilai akan membawa kerugian pada pasar emerging market Asia.
Prospek perekonomian emerging Asia pada tahun 2025, termasuk Indonesia, akan lebih redup.
Hambatan utama dalam jangka pendek bukan berasal dari kebijakan tarif tinggi impor yang direncanakan oleh Trump. Kebijakan itu diperkirakan baru akan berimbas pada 2026 karena masih membutuhkan waktu sepanjang tahun ini untuk muncul sebagai aturan resmi Pemerintah AS di bawah Trump.
"Sebaliknya, hambatan utama adalah investasi yang lebih rendah karena menghadapi ketidakpastian akan sifat kebijakan bea masuk AS ke depan. Juga, dari kebijakan moneter yang lebih ketat dalam jangka panjang yang membuat biaya pendanaan tetap tinggi," kata ekonom Bloomberg Economics Tamara Mast Henderson untuk kawasan Asia dalam kajian yang dilansir akhir pekan lalu.
Tim ekonom Bloomberg Economics untuk kawasan AS, sejauh ini memperkirakan kebijakan tarif impor Trump baru akan keluar pada akhir 2025 atau awal 2026. Tim ekonom ini juga menilai, ada risiko dari tarif universal yang bisa berdampak lebih merusak bagi perekonomian negara-negara di Asia Tenggara.
"Trajektori ekspor Asia Tenggara tahun depan sepertinya masih akan utuh [stabil]. Namun, ketidakpastian tarif kemungkinan akan menghambat belanja modal. Investasi lebih rentan terhenti di negara-negara yang lebih rentan terhadap kebijakan tarif terutama Vietnam dan pada tingkat lebih rendah yakni Thailand," kata Henderson.
Pada saat yang sama, penguatan dolar AS akibat kebijakan-kebijakan yang potensial mengerek inflasi bangkit lagi di negeri itu, akan berdampak pada upaya pelonggaran moneter di negara-negara Asia. Kebijakan moneter dalam jangka panjang terancam akan tertahan di zona pengetatan agar bisa menopang kekuatan nilai tukar, membendung arus keluar modal asing juga menahan ekspektasi inflasi.
"Itu akan menjadi masalah bagi Indonesia dan Filipina di mana tingkat suku bunga mereka saat ini berada 100 bps di atas tingkat bunga acuan netral," kata Henderson.
(rui/aji)