Para pedagang di pasar fixed income melanjutkan penjualan Treasury, terutama untuk tenor panjang karena ketidakpastian arah bunga acuan menyusul keterpilihan Trump sebagai Presiden AS yang membawa sejumlah rencana kebijakan yang potensial melesatkan lagi inflasi di negeri itu.
Selisih imbal hasil yang menyempit, memanaskan arus jual di pasar SBN. Dalam sebulan terakhir, yield surat utang acuan sudah naik hampir 30 bps.
Kejatuhan harga obligasi negara itu terutama karena arus jual oleh para pemodal asing yang bergegas memburu aset di pasar negara maju karena imbal hasil atraktif dan risiko lebih kecil.
Mengacu data Bloomberg, sampai penutupan perdagangan kemarin, yield INDOGB-5Y sudah naik 23 bps. Tenor menengah lain, 6Y bahkan sudah naik 31,4 bps ke level 6,76%.
Sedangkan yield acuan INDOGB-10Y naik 24,4 bps sebulan terakhir. Pada perdagangan kemarin, tingkat imbal hasilnya menyentuh 6,90%, naik 6 bps.
Pada pembukaan pasar Kamis pagi ini, tekanan masih terlihat di pasar SBN. Yield 2Y semakin naik ke 6,58%. Sedangkan tenor 5Y juga menyentuh 6,71%. Diikuti tenor 10Y yang saat ini makin tinggi yield-nya di 6,92%.
Para pemodal asing melanjutkan penjualan surat utang RI meski lajunya cenderung melambat. Data terakhir Kementerian Keuangan sampai 6 November lalu, asing menjual US$2,69 juta surat utang RI.
Kepemilikan asing di pasar sekunder SBN saat ini masih bertahan di Rp885,56 triliun, hanya berkurang Rp4,28 triliun dibanding posisi tertinggi tahun ini pada 22 Oktober lalu sebesar Rp889,84 triliun.
Prospek Bunga Acuan
Sebagian ekonom memprediksi Bank Indonesia kemungkinan akan memangkas bunga acuan pada RDG pekan depan sebesar 25 bps.
Penurunan bunga acuan akan memantik kenaikan harga obligasi dan menurunkan yield-nya. Masuk ke pasar saat ini ketika yield sudah tinggi akan memberikan untung lebih besar bagi investor seiring prospek kenaikan harga ke depan.
Sebagian ekonom menilai, meski rupiah cenderung tertekan belakangan akan tetapi kisaran pelemahannya masih di 'zona aman' karena belum sampai menyentuh Rp16.000/US$ apalagi mendekati Rp16.500/US$ seperti yang terjadi pada Juni lalu.
Selain itu, bila melihat tren bunga global, The Fed sejauh ini sudah memangkas bunga acuan sebanyak 75 bps. Sementara BI baru sebanyak 25 bps.
"Ada ruang untuk menurunkan BI rate pekan depan selama rupiah tak sampai menyentuh Rp16.000/US$ lebih," kata Chief Economist PT Bank Central Asia Tbk David Sumual.
David memprediksi BI akan memangkas bunga acuan sebesar 25 bps pada RDG pekan depan.
Mengacu survei yang dilansir oleh Bloomberg sampai pagi ini, sebanyak empat dari tujuh ekonom memperkirakan BI rate akan turun 25 bps dalam pertemuan yang dijadwalkan pada 19-20 November itu.
BI seharusnya cukup percaya diri karena posisi cadangan devisa masih besar, menyentuh rekor terbesar sepanjang masa pada Oktober bahkan ketika rupiah pada periode itu tergerus lemah hampir 4%.
Selain itu, secara historis, gerak rupiah di akhir tahun hampir selalu menguat menyusul tren window dressing para pengelola dana global yang butuh memoles portofolionya, dan memantik arus masuk modal asing ke RI.
Alasan terbesar lain adalah, ekonomi domestik sudah sangat membutuhkan pelonggaran. Sinyal pelemahan permintaan sudah banyak bermunculan di mana konsumsi rumah tangga tertekan pada kuartal lalu dan melemahkan pertumbuhan ekonomi. Bukan cuma itu. Tingkat inflasi sudah rendah jauh di bawah median target inflasi BI tahun ini.
Namun, sebagian ekonom yang lain masih sangsi BI akan memangkas bunga acuan di sisa tahun ini karena posisi rupiah yang masih rentan.
"BI kemungkinan akan menahan bunga acuan di sisa tahun ini karena prospek arus modal asing dalam jangka pendek melemah yang mengarah pada risiko valuta asing lebih tinggi," kata Ekonom Citigroup Helmi Arman, dikutip dari Bloomberg.
Peluang penurunan BI Rate, menurut Citigroup, baru terbuka pada tahun depan setelah Trump resmi dilantik. Citigroup memprediksi masih akan ada empat kali pemotongan BI rate masing-masing sebesar 25 bps di setiap kuartal pada tahun 2025.
Ekonom Bloomberg Economist Tamara Mast Henderson juga menilai, BI akan cenderung menahan bunga lagi dalam pertemuan pekan depan karena masih ada kekhawatiran akan stabilitas nilai tukar.
"Inflasi Indonesia yang rendah pada Oktober belum akan cukup meyakinkan BI untuk menurunkan bunga lagi pada November," kata Henderson yang memprediksi BI Rate ditahan di 6% pekan depan.
Macro Strategist Mega Capital Sekuritas Lionel Priyadi menambahkan, terdapat potensi pelebaran defisit transaksi berjalan hingga sebesar -0,75% dari PDB pada kuartal III, makin lebar dibanding kuartal II sebesar -0,58% akibat berlanjutnya overheating perekonomian domestik.
"Kami melihat ada peningkatan risiko terjadinya twin deficit. Masalah defisit kembar yang semakin parah akan meningkatkan volatilitas rupiah, yang pada gilirannya akan mempersulit arah penurunan suku bunga BI di masa depan," kata Lionel.
Apabila volatilitas pasar global tidak berkurang setelah Pilpres AS dan proyeksi penurunan bunga The Fed, BI kemungkinan akan menunda penurunan suku bunga di bulan November untuk mempertahankan pergerakan rupiah pada kisaran Rp15.300-15.700/US$, menurut analis.
Ketika BI memangkas bunga acuan pada bulan September lalu, rupiah mencatat penguatan 0,95% dibanding posisi RDG terakhir bulan sebelumnya dengan rata pergerakan di Rp15.445/US$.
Sementara sejauh ini, rupiah telah mengalami pelemahan 1,66% sejak RDG terakhir digelar pada pertengahan Oktober lalu dengan rata-rata bergerak di Rp15.374/US$. Rentang pergerakan rupiah pada periode tersebut cenderung lebih lebar yaitu antara Rp15.100-Rp15.680/US$
Bila menghitung selama semester II-2024, rupiah mencatat penguatan 3,80%, terbaik di Asia ketiga sejauh ini setelah ringgit dan baht.
Sementara sepanjang tahun ini, rupiah masih mencatat pelemahan 2,4% year-to-date. Masih lebih baik dibanding won Korsel yang ambles 8,45%, lalu peso 5,80% baht 2,5%.
Namun, bila menilik selisih imbal hasil antara surat utang negara dengan Treasury yang makin menyempit dibanding ketika BI rate dipangkas, Perry Warjiyo dan rekan mungkin akan cenderung menahan bunga acuan.
Sebagai gambaran, yield spread UST dengan SUN pada saat BI rate dipangkas September lalu telah bergerak rata-rata di kisaran 284 bps. Sementara ketika BI memilih menahan bunga acuan pada Oktober, selisih imbal hasil sudah menyempit jadi 267 bps.
Kini, menghitung periode sejak RDG terakhir bulan lalu sampai penutupan pasar hari ini, yield spred RI dengan AS makin sempit, rata-rata di 245 bps. Semakin sempit selisih imbal hasil, semakin berkurang minat pemodal asing untuk masuk ke pasar Indonesia. Ketika asing hengkang, pasokan dolar AS banyak keluar dan menekan nilai rupiah.
Dana asing sejauh ini cenderung meningkat arus masuknya di paruh kedua tahun 2024. Berdasarkan laporan BI pada semester II-2024 sampai 4 November lalu, nonresiden tercatat beli neto sebesar Rp38,17 triliun di pasar saham, Rp72,82 triliun di pasar SBN dan Rp62,65 triliun di SRBI.
Pada pembukaan pasar Kamis pagi, rupiah kembali melemah dan kini menyentuh Rp15.860/US$ tertekan keperkasaan indeks dolar AS yang berada di level tertinggi setahun terakhir.
(rui/aji)