Ia menambahkan bahwa pemerintah perlu mewaspadai indikator-indikator yang menentukan daya beli masyarakat, terlebih dengan maraknya praktik judi online (judol) makin memperburuk kondisi tersebut.
Menurut dia, judi online mendorongmasyarakat yang awalnya memiliki daya beli kuat namun pada akhirnya menurun. Pasalnya uang mereka, yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, justru tersedot ke aktivitas ilegal tersebut.
“Mungkin punya daya beli tapi daya belinya kesedot untuk aktivitas yang tidak menimbulkan konsumsi, tapi kemudian hilang dalam judol. Itu semuanya perlu untuk kita terus lihat, waspadai dan kita mengambil strategi untuk pemerintah,” terang Menkeu.
Sebagai informasi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan perputaran uang judi online diprediksi mencapai Rp404 triliun hingga akhir 2024. Angka ini meningkat 23% dibandingkan 2023 yang mencapai Rp327 triliun.
Menurut PPATK, permintaan dan penawaran judi online di Indonesia terus mengalami peningkatan dengan rata-rata kenaikan sebesar 143,51% terutama semenjak pandemi, pada 2020.
Pada 2017 perputaran dana judi online hanya Rp2,01 triliun. Angka tersebut terus meningkat hingga Rp3,98 triliun pada 2018; Rp6,85 triliun pada 2019; Rp15,77 triliun pada 2020; Rp57,91 triliun pada 2021; Rp104,42 triliun pada 2022; dan Rp327,05 triliun pada 2023.
Berdasarkan sumber dana, deposit judi online sebagian besar berasal dari transaksi melalui bank yaitu mencapai Rp33,09 triliun, dan e-wallet Rp 8,37 triliun. Dari jumlah transaksi pada bank, sebanyak Rp1,20 triliun tercatat berasal dari bantuan sosial atau bansos.
Khusus peruntukan dana judi online, terbanyak disamarkan menjadi aset kripto, mencapai Rp7,16 triliun, money changer Rp4,91 triliun, pasar modal Rp3,17 triliun, masyarakat menang judi Rp0,07 triliun, dan koperasi simpan pinjam Rp0,02 triliun. Aliran dana tersebut juga terintegrasi dengan properti dan aset dalam dan luar negeri sebanyak Rp10,04 triliun.
(wep)