Menurutnya, sapi perah di Indonesia menggunakan peranakan sapi Friesian Holstein (FH) yang kualitas dan kuantitasnya tidak sebaik sapi FH asli, yang banyak digunakan untuk produksi susu impor.
"Jenis sapi perah kita itu 'KW 1' sapi Friesian Holstein. Kalau sapi perah susu impor itu sapi perah jenis Friesian Holstein yang asli. Jelas kualitas dan kuantitasnya jauh lebih bagus, daripada susu sapi lokal yang menggunakan peranakan Friesian Holstein," terangnya.
Hal ini tak dapat dipungkiri juga berpengaruh terhadap penyerapan susu segar peternak lokal, yang berujung pada aksi sejumlah peternak sapi perah rakyat yang membuang sekitar 200 ton susu segar per hari lantaran tidak terserap atau dibeli oleh IPS.
Bayu menjelaskan keterbatasan penyerapan susu lokal juga tak terlepas oleh rendahnya kapasitas bahan baku lokal untuk memenuhi permintaan industri. Meski demikian, dia menegaskan bahwa kualitas susu lokal telah memenuhi standar nasional
"Kalau kualitas dan kuantitas itu mengikuti saja. Kita juga sudah di atas standar nasional Indonesia. Jadi yang diminta IPS itu kualitas standar susu impor per kualitasnya," tegasnya.
Berkaitan dengan impor susu, sebelumnya, Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi menjelaskan negara pengekspor susu yang didominasi oleh Australia dan Selandia Baru, memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia.
Perjanjian tersebut menghapuskan bea masuk produk susu hingga membuat produk mereka lebih murah 5% dari harga global ketika masuk ke Indonesia.
"Negara-negara pengekspor susu memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia yang menghapuskan biaya masuk pada produk susu, sehingga harga produk mereka sekitar 5% lebih rendah dari harga global," jelas Budi dalam konpersnya di kantor Kemenkop, Jakarta, Senin (11/11/2024).
Walhasil angka impor susu sapi ke Indonesia menjadi tinggi. Menurut Budi, hal ini juga terlihat dari dari total konsumsi per tahun yang mencapai 4,4 juta ton sepanjang 2022 hingga 2023. Industri dalam negeri padahal hanya mampu memproduksi 837.223 ton.
Tak hanya itu, kondisi diperparah dengan pelaku industri yang mengimpor produk dalam bentuk susu bubuk.
Dengan demikian, dia menekankan perlu ada koordinasi lanjutan dengan Kementerian Perdagangan mengenai kebijakan tersebut. Menurut dia, harga ideal berdasarkan keekonomian adalah Rp9.000/liter, sedangkan pasar saat ini menetapkan di kisaran Rp7.000/liter.
"Hal ini membuat para peternak sapi di Indonesia mengalami kerugian, padahal susu skim secara kualitas jauh di bawah susu sapi segar karena sudah melalui berbagai macam proses," kata Budi.
(prc/wdh)