Bank Dunia mengestimasikan penurunan konsumsi batu bara bakal terjadi pada 2025 dan makin parah pada 2026, menyusul proyeksi kemerosotan permintaan dari China, Eropa, dan Amerika Serikat (AS).
Bank Dunia melandasi proyeksi penurunan permintaan batu bara di China, Eropa, dan AS pada 2026 dengan faktor makin banyaknya pembangkit listrik dari energi terbarukan (EBT) dan gas alam untuk menggantikan pembangkit berbasis batu bara.
Bank Dunia menggarisbawahi peningkatan permintaan batu bara masih terjadi pada tahun ini, seiring dengan konsumsi yang cukup besar dari India serta China yang digadang-gadang mampu mengompensasi penurunan permintaan dari Eropa.
Namun, konsumsi batu bara global diperkirakan mulai menyusut pada 2025, di mana permintaan dari China menurun dan pertumbuhan permintaan India diproyeksikan melambat.
"Jika perkiraan ini terbukti akurat, konsumsi batu bara global akan mencapai puncaknya pada 2024, menandai tonggak penting dalam transisi energi global," tulis Bank Dunia dalam laporannya.
Sejalan dengan permintaan yang menurun, produksi batu bara global diperkirakan menurun, terutama di China dan AS. Produksi juga diperkirakan turun di Indonesia, sejalan dengan target yang diumumkan oleh pemerintah.
Di antara produsen utama, hanya India yang diperkirakan masih mencatatkan pertumbuhan produksi batu bara dalam dua tahun ke depan untuk memenuhi permintaan domestik.
"Harga batu bara Australia diperkirakan turun sekitar 12% pada 2025 dan 2026 secara anual, melanjutkan penurunan tahunan yang diperkirakan sebesar 21% pada 2024," tulis tim peneliti Bank Dunia.
Di lain sisi, harga batu bara Australia berada dalam tren peningkatan sepanjang 2024. Bank Dunia mencatat harga batu bara Australia meningkat dari US$126,9/ton pada Januari—Maret 2024 menjadi US$140,8/mt pada Juli—September 2024.
Nikel Bakal Bangkit
Bank Dunia memproyeksikan harga nikel menguat secara anual; masing-masing 3% pada 2025 dan 6% pada 2026.
Para tim peneliti Bank Dunia mengatakan proyeksi penguatan harga nikel terjadi seiring dengan permintaan global yang diramal terus meningkat dalam beberapa tahun mendatang, didukung ekspansi produksi baja nirkarat atau stainless steel dan baterai untuk kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).
"Setelah penurunan yang diperkirakan sebesar 21% pada 2024 secara tahunan atau year on year [yoy], harga nikel diperkirakan pulih sebesar 3% pada 2025 dan 6% pada 2026," tulis tim peneliti Bank Dunia dalam laporannya.
Bank Dunia mencatat rerata harga nikel berada di level US$16.627/ton pada Januari—Maret 2024. Harganya sempat menguat ke level US$18.416/ton pada April—Juni 2024 dan melemah kembali ke level US$16.235/ton pada Juli—September 2024.
Institusi tersebut juga melaporkan harga nikel turun 12% secara quarter to quarter (qtq) pada kuartal III-2024, tetapi sebagian pulih dalam beberapa pekan terakhir menyusul langkah-langkah stimulus ekonomi di China.
Penurunan harga nikel pada kuartal III-2024 sebagian besar mencerminkan peningkatan produksi di tengah tanda-tanda melemahnya permintaan dari pasar baja nirkarat dan baterai.
Reli Tembaga Melandai
Bank Dunia memproyeksikan harga tembaga turun 9% secara anual pada 2026 karena pertumbuhan pasokan yang lebih kuat.
Adapun, penurunan harga bakal terjadi setelah proyeksi kenaikan 9% pada 2024 dan proyeksi pertumbuhan tipis 1% pada 2025, didukung oleh pertumbuhan permintaan yang stabil.
"Pada 2026, harga tembaga diproyeksikan turun sebesar 9% karena pertumbuhan pasokan yang lebih kuat. Namun, harga diperkirakan tetap lebih tinggi 50% di atas rata-rata periode 2015—2019 selama dua tahun ke depan," tulis tim peneliti Bank Dunia dalam laporannya.
Bank Dunia mencatat rerata harga tembaga berada di level US$8.444/ton pada Januari—Maret 2024. Harganya sempat menguat ke level US$9.751/ton pada April—Juni 2024 dan melemah ke level US$9.198/ton pada Juli—September 2024.
Menurut Bank Dunia, harga tembaga turun 6% secara qtq pada kuartal III-2024 karena tanda-tanda perlambatan aktivitas industri di beberapa negara ekonomi utama, dengan kenaikan harga baru-baru ini yang didukung oleh langkah-langkah stimulus di China juga terbukti berumur pendek.
Pada perkembangan lain, Bank Dunia juga memperkirakan pasokan tembaga global kembali meningkat secara stabil dalam beberapa tahun ke depan, dengan adanya potensi produksi tambahan dari Afrika, Amerika Selatan, dan tempat lain yang mulai beroperasi; termasuk pembukaan kembali tambang di Cile usai negosiasi yang berakhir dengan baik dengan pemerintah setempat.
Permintaan global untuk tembaga juga kemungkinan akan tetap stabil, meskipun terjadi penurunan konsumsi yang berkepanjangan di sektor properti China.
Timah Kian Naik
Bank Dunia memproyeksikan timah bakal menguat secara anual; masing-masing 7% pada 2025 dan 6% pada 2026.
Proyeksi penguatan harga timah terjadi seiring meningkatnya permintaan semikonduktor, panel fotovoltaik, dan teknologi transisi energi lainnya.
"Setelah kenaikan yang diharapkan sebesar 16% secara tahunan atau year on year tahun ini, harga timah akan naik sebesar 7% pada 2025 dan 6% pada 2026, didukung oleh meningkatnya permintaan semikonduktor, panel fotovoltaik, dan teknologi transisi energi lainnya," papar tim peneliti Bank Dunia.
Dari sisi pasokan, ekspor timah Indonesia diperkirakan akan stabil setelah penundaan perizinan menyebabkan penurunan tajam pada awal 2024.
Sebaliknya, operasi belum dimulai kembali di tambang-tambang utama di Myanmar—produsen timah terbesar ketiga—meskipun larangan penambangan 2023 telah dicabut sebagian pada awal 2024.
"Dengan sedikit proyek penambangan timah baru yang sedang dikembangkan, pasokan global kemungkinan akan tetap ketat di tahun-tahun mendatang."
Bank Dunia mencatat rerata harga timah berada di level US$26.218/ton pada Januari—Maret 2024. Harganya sempat menguat ke level US$32.262/ton pada April—Juni 2024 dan melemah ke level US$31.608/ton pada Juli—September 2024.
Adapun, harga timah turun tipis 2% secara kuartalan pada kuartal III-2024, menyusul lonjakan 23% pada kuartal sebelumnya karena gangguan pasokan dari produsen utama di Indonesia dan Myanmar.
(dov/wdh)