Sementara sektor usaha pertanian (termasuk peternakan), menjadi salah satu kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi berdasarkan lapangan usaha. Sektor pertanian, bersama dengan pengolahan dan perdagangan, menyumbang 47,7% PDB pada kuartal III-2024.
Bagi perbankan, sektor kredit UMKM juga signifikan. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, sampai akhir Agustus lalu, perbankan telah menyalurkan kredit ke sektor UMKM senilai Rp1.474,75 triliun, naik 4,42% dibanding Agustus 2023.
Nilai kredit di UMKM itu setara dengan 19,6% dari total penyaluran kredit kepada Pihak Ketiga Bukan Bank pada periode yang sama senilai Rp7.507,7 triliun.
Kredit segmen UMKM terbanyak disalurkan ke lapangan usaha Perdagangan Besar dan Eceran dengan nilai outstanding pinjaman mencapai Rp683,65 triliun. Baru disusul oleh sektor Pertanian, Perburuan dan Kehutanan dengan nilai total kredit tersalur mencapai Rp255,96 triliun.
Dari total kredit di segmen UMKM, sebesar Rp59,8 triliun merupakan kredit bermasalah (nonperforming loan) yakni kredit atau pembiayaan yang masuk dalam kolektibilitas 3 (kurang lancar), 4 (diragukan) dan 5 (macet).
Sektor Perdagangan Besar dan Eceran menyumbang nominal NPL terbesar sebanyak Rp29,6 triliun. Namun, dari sisi rasio, rasio NPL tertinggi dicatat oleh sektor konstruksi yang angkanya mencapai 9,94%.
Angka itu jauh melampaui rata-rata rasio NPL perbankan yang sebesar 2,26% per Agustus lalu. Sementara rasio NPL kredit UMKM sektor Pertanian tercatat sebesar 2,5% atau sekitar Rp6,37 triliun.
Produktivitas Rendah
Sektor pertanian yang menjadi salah satu sumber PDB Tanah Air, sayangnya termasuk lapangan usaha dengan produktivitas rendah dengan pertumbuhan stagnan di bawah 3% dalam hampir tiga dekade terakhir.
Kajian yang dilakukan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terkait Total Factor Productivity (TFP) dalam sektor pertanian di Indonesia, menemukan, selama rentang 1996-2020, pertumbuhan output di sektor pertanian stagnan di bawah 3%.
“Kontribusi pertumbuhan dari tenaga kerja di sektor pertanian juga secara konsisten menurun 0,62% per tahun,” kata Erizal Jamal, Peneliti Pusat Riset Koperasi, Korporasi dan Ekonomi Kerakyatan BRIN, dikutip dari laman BRIN.
Selain menghadapi isu struktural mulai dari keterampilan tenaga kerja yang rendah serta kualitas bahan baku yang kurang bagus, sampai skema penjaminan petani yang minim, sektor pertanian juga menghadapi masalah perubahan iklim yang bisa berdampak besar pada produktivitas. Pada kuartal 1-2024, misalnya, lapangan usaha pertanian mengalami kontraksi ketika fenomena El-Nino memicu terjadinya gagal panen di banyak daerah.
Perluasan akses kredit bisa menjadi salah satu yang bisa membantu peningkatan produktivitas.
Studi yang pernah dilansir oleh tim akademisi Institut Pertanian Bogor diampu antara lain oleh Silke Zorena Jono pada 2023 menyimpulkan, petani yang memakai pinjaman sebagai sumber modal memperoleh rata-rata penerimaan lebih besar ketimbang petani yang tidak memakai akses kredit. Pinjaman bank bisa membantu petani memiliki sarana produksi yang dibutuhkan sehingga bisa mendongkrak hasil produksi.
Dalam konteks itu, pemutihan utang UMKM terutama di sektor pertanian/peternakan, bisa diharapkan membuka lagi akses mereka terhadap kredit bank sehingga produktivitas bisa dikerek. Ketika produktivitas sektor pertanian meningkat, ada peluang laju PDB turut terdongkrak.
Histori SLIK
Hanya saja, efek kebijakan itu dalam menstimulasi perekonomian, khususnya sektor UMKM, akan lebih signifikan apabila diikuti oleh penghapusan histori 'pernah macet' para debitur UMKM di SLIK.
"Dari kacamata makro, kebijakan hapus tagih akan bagus bagi perekonomian. Namun, bila [debitur macet] masih tidak bisa mengajukan kredit lagi karena catatan di SLIK tidak bisa dihapus, efeknya menjadi berkurang," komentar David Sumual, Chief Economist PT Bank Central Asia Tbk (BBCA).
Di Indonesia, ketika seseorang pernah terlibat kredit macet di perbankan atau lembaga keuangan lain, selamanya hal itu tercatat dalam histori seorang debitur dalam SLIK.
Hal itu berpotensi menghambat kelayakannya mendapatkan kredit baru di masa mendatang. Bahkan, sekalipun sudah dikeluarkan dari daftar hitam SLIK, seseorang tidak serta merta bisa lolos seleksi 'BI Checking' tersebut.
Bank-bank dengan lending standard ketat, akan dengan mudah mencoret pengajuan dari calon debitur yang tercatat pernah macet, sekalipun itu sudah terjadi beberapa tahun silam dan kini telah diputihkan.
Itu berbeda dengan beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS) yang secara periodik menghapus/memperbarui riwayat kredit debitur sehingga mereka yang pernah bermasalah dalam pinjaman, berpeluang mendapatkan kredit setelah melalui periode tertentu. "Di Indonesia setahu saya belum ada aturan itu [penghapusan riwayat transaksi/kredit]," kata David.
Sampai hari ini, aturan teknis kebijakan yang memiliki landasan hukum Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2024 tentang Penghapusan Piutang Macet kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), masih belum ada. "Yang terpenting juga, perlu ada kejelasan kriteria debitur yang layak mendapatkan pemutihan supaya tidak memicu moral hazzard, aji mumpung karena dikhawatirkan [kebijakan hapus tagih] memicu niat buruk," jelas ekonom.
Selain itu, ada pula isu kekhawatiran para bankir akan potensi pelanggaran hukum bila melakukan hapus tagih, terutama bagi bankir-bankir pelat merah.
Sebagaimana diketahui, kebijakan hapus tagih itu diberlakukan untuk kredit macet yang banyak muncul akibat krisis keuangan pada 1998, 2008 dan krisis lain terutama untuk sektor pertanian dan nelayan.
Utang-utang macet itu sebenarnya sudah dihapusbuku akan tetapi hak tagih masih ada. Akibatnya debitur terkait tidak bisa mengajukan kredit baru di bank.
Isu tersebut menjadi spesifik pada bank-bank pelat merah (BUMN) karena di bank swasta praktik pemutihan itu sudah menjadi hal lazim.
Sementara di bank-bank pelat merah, para bankir tak bisa serta merta melakukan hapus tagih karena masih ada kekhawatiran hal itu bisa menjadi boomerang di masa mendatang.
Pasalnya, aturan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara masih menyebut hapus tagih termasuk tindakan merugikan negara, begitu juga regulasi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 49 Tahun 1960 tentang Piutang Negara.
Dalam pernyataan terakhir Otoritas Jasa Keuangan, bank-bank BUMN bisa melakukan hapus tagih itu karena sudah memiliki landasan hukum lebih tinggi yaitu Undang-Undang Pengembangan dan Pengaturan Sektor Keuangan (P2SK).
(rui/aji)