Logo Bloomberg Technoz

Secara bulanan, penjualan eceran di Indonesia pada bulan kesembilan tahun ini bahkan terkontraksi 2,5% MoM, kontraksi pertama kali dalam tiga bulan terakhir.

"Penurunan [penjualan ritel] pada September terutama terjadi di subkelompok Sandang, Perlengkapan Rumah Tangga Lainnya, juga sektor Makanan, Minuman serta Tembakau. Hal itu seiring penurunan permintaan masyarakat akibat berakhirnya berbagai program diskon peringatan Hari Ulang Tahun RI," kata Bank Indonesia dalam laporannya, dikutip Selasa hari ini.

Pelemahan penjualan diperkirakan akan berlanjut pada Oktober. Hasil survei memprediksi, penjualan eceran pada Oktober hanya akan tumbuh 1% YoY, sedangkan secara bulanan diperkirakan masih akan terkontraksi -0,5% MoM.

Kelesuan penjualan ritel sudah berlangsung sejak tahun lalu. Meski sebenarnya bila dibanding tahun lalu, penjualan ritel sepanjang 10 bulan tahun ini sudah sedikit lebih baik.

Pengunjung melihat sepatu di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Barat, Minggu (14/4/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Rata-rata pertumbuhan penjualan selama Januari-Oktober 2024 tercatat sebesar 3,5% per bulan dengan titik terendah pertumbuhan terjadi pasca Lebaran lalu pada April ketika penjualan ritel mengalami kontraksi secara tahunan sebesar -2,7%.

Kinerja pertumbuhan tertinggi terjadi pada Maret lalu, dengan kenaikan 9,3% ketika datang musim belanja seiring perayaan Ramadan dan Idul Fitri.

Sebagai perbandingan, pada 10 bulan tahun 2023, pertumbuhan penjualan ritel hanya tercatat 1,64% per bulan dengan kinerja sepanjang tahun cuma naik rata-rata sebesar 1,9% per bulan. Titik pertumbuhan tertinggi tahun lalu terjadi pada Juni sebesar 7,9% dan terendah adalah pada Mei ketika terjadi kontraksi -4,5%.

Durable Goods Kian Lesu

Apabila menilik sektor ritel yang mengalami tekanan pada September lalu, terlihat bahwa hampir semua segmen barang-barang tahan lama bahkan termasuk segmen makanan-minuman, mencatat kontraksi dibanding Agustus.

Segmen Barang Lainnya juga Sandang mencatat kontraksi terdalam masing-masing -5,2% dan 5,8%. Disusul oleh segmen Barang Budaya dan Rekreasi yang terkontraksi -5%. Sedangkan segmen Makanan, Minuman dan Tembakau tumbuh negatif 2,7%.

Pengunjung melihat mainan yang dijual di Pasar Gembrong, Jakarta, Kamis (11/4/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Tren serupa diprediksi berlanjut pada Oktober. Terutama untuk segmen Peralatan Informasi dan Komunikasi yang diramal kontraksi sampai 12,9%. Begitu juga segmen Barang Budaya dan Rekreasi serta segmen Makanan-Minuman, masing-masing diprediksi tumbuh negatif 0,6% dan 0,2%.

Tertekannya penjualan segmen barang tahan lama mempertegas terjadinya pelemahan daya beli di tengah masyarakat saat ini. Data itu juga sesuai dengan hasil survei konsumen terakhir di mana Indeks Pembelian Barang Tahan Lama pada Oktober terperosok ke level terendah sejak Maret 2023.

Hukum Engel menyatakan, ketika pendapatan seseorang menurun, proporsi atau persentase nilai belanja yang dialokasikan untuk makanan dibanding seluruh pengeluaran, akan meningkat. Itu karena makanan merupakan kebutuhan dasar. 

Orang akan cenderung mempertahankan tingkat konsumsi makanan meski mengalami penurunan pendapatan. Semakin kecil pendapatan seseorang, maka akan makin besar proporsi penghasilan yang dihabiskan untuk makanan. Ketika pembelian durable goods dan makanan pada saat yang sama tertekan, persoalannya mungkin bisa lebih serius lagi.

Animo orang berbelanja mungkin akan semakin susut karena ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi enam bulan ke depan juga menurun. 

Data penjualan ritel terbaru ini juga 'klop' dengan laporan pertumbuhan ekonomi terakhir yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik. Konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2024 hanya tumbuh 4,91% yang menyeret pertumbuhan ekonomi melambat dengan kenaikan 4,91% YoY.

"Kalau kita lihat yang relatif melambat konsumsi rumah tangga pada kuartal III di antaranya adalah kelompok pakaian, alas kaki dan jasa perawatan, ada perumahan dan kelengkapan rumah tangga, kesehatan dan pendidikan," kata Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti.

Menunggu Nataru

Capaian kinerja penjualan ritel terakhir juga kian menegaskan karakteristik perekonomian RI yang semakin bergantung daya dorongnya pada faktor musiman. Terjadi fenomena stagnasi sekuler perekonomian. Yakni sebuah kondisi di mana pertumbuhan ekonomi tidak tumbuh signifikan atau bahkan tidak tumbuh sama sekali. 

Pada kuartal IV saban tahun, pendorong konsumsi hanya disandarkan pada musim libur perayaan Natal dan Tahun Baru dan mungkin libur sekolah semester ganjil. Namun, itupun kemungkinan hanya berdampak tak terlalu menggigit.

Berkaca pada data historis, dalam lima tahun terakhir, di luar periode pandemi Covid yang abnormal yakni pada 2020 dan 2021, penjualan ritel pada kuartal akhir tak pernah melampaui 2%. Tanpa ada faktor musiman, ekonomi RI seolah kehabisan daya untuk tumbuh mengesankan. 

Situasi itu apabila dibiarkan lebih lama, bisa semakin menyeret pelemahan ekonomi domestik. Terlebih dengan adanya ancaman eksternal pasca hasil Pemilu AS yang dinilai semakin menyuramkan prospek perekonomian Indonesia ke depan.  

Survei Konsumen terbaru mencatat, kondisi penghasilan masyarakat RI tengah dalam kondisi lebih buruk (Dok Bloomberg/Muhammad Fadli)

Kelesuan ekonomi domestik sebenarnya membutuhkan kebijakan pelonggaran moneter dari bank sentral.

Namun, kerentanan rupiah akibat potensi keperkasaan dolar AS pasca Donald Trump terpilih jadi Presiden AS, bisa membatasi ruang Bank Indonesia menurunkan BI Rate. Padahal inflasi sudah sangat rendah di bawah median target inflasi BI tahun ini. 

Dukungan kebijakan fiskal menjadi sangat ditunggu. Sejak dilantik secara resmi pada 20 Oktober lalu, Pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto masih belum terlihat ada gebrakan 'mengintervensi' pelemahan daya beli masyarakat.

Dari pernyataan beberapa pejabat, pemerintah sejauh ini baru berada di tahap merencanakan sejumlah kebijakan yang diarahkan untuk membangkitkan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah.

Yang terbaru, pemerintah merilis kebijakan penghapusan piutang macet (hapus tagih) sektor UMKM senilai Rp10 triliun.

“Ini merupakan kebijakan strategis untuk mendorong sektor-sektor yang berperan penting terhadap ketahanan pangan dan perekonomian nasional. Dengan berlakunya kebijakan ini, diharapkan para pelaku UMKM di bidang tersebut dapat meneruskan usaha,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Selain itu, di lingkup internal pemerintahan, Bendahara Negara telah merilis Surat Edaran baru yang memerintahkan agar perjalanan dinas para Menteri dan pejabat negara dihemat minimal sebesar 50%. 

(rui/aji)

No more pages