Para pelaku pasar cenderung gelisah menjelang pengumuman data inflasi Indeks Harga Konsumen (CPI) Amerika yang akan dilansir pada Rabu malam waktu Indonesia.
Gelombang 'Trump Trade' kembali melanda pasar global setelah tadi malam indeks saham di Wall Street melanjutkan reli sementara harga Treasury, surat utang AS, pada pembukaan pasar hari ini di Asia cenderung tertekan. Yield 2Y bergerak di kisaran 3,28%, lalu tenor 10Y masih di kisaran 4,32%.
Lanskap perdagangan global itu berimbas negatif pada pasar keuangan domestik sejak pagi tadi. Selain rupiah, harga obligasi negara juga tertekan.
Harga obligasi negara (SBN) di hampir semua tenor cenderung melemah sehingga tingkat imbal hasil kembali merangkak naik.
INDOGB-2Y naik ke kisaran 6,53%, lalu tenor 5Y yield-nya di 6,62%. Disusul tenor 10Y, yield-nya juga naik ke 6,85%. Begitu juga tenor panjang 20Y yang siang ini menyentuh 6,99%.
Sementara itu, pasar saham RI rebound di mana IHSG yang dibuka hijau tadi pagi sampai penutupan sesi pertama perdagangan naik 0,63% di level 7.311,96.
Penjualan ritel lesu
Bukan hanya sentimen eksternal yang membuat rupiah dan harga obligasi negara hari ini tertekan. Hasil Survei Penjualan Eceran yang dilansir oleh Bank Indonesia pagi tadi menunjukkan, kelesuan permintaan terus berlanjut.
Indeks Penjualan Riil pada September hanya tumbuh 4,8% year-on-year (YoY), lebih rendah dibanding Agustus yang sebesar 5,8%.
Secara bulanan, penjualan eceran pada bulan September terkontraksi (tumbuh negatif) sebesar 02,5% month-on-month (MoM) setelah pada bulan sebelumnya masih tumbuh 1,7%.
Perlambatan kinerja penjualan ritel diperkirakan masih akan berlanjut sampai Oktober lalu. Hasil survei memprediksi, penjualan eceran pada Oktober hanya akan tumbuh 1% YoY, sedangkan secara bulanan masih terkontraksi -2,5% MoM.
Hasil survei penjualan eceran terakhir itu mempertegas terjadinya pelemahan daya beli yang sudah berlangsung sekian lama dan telah menyeret pertumbuhan ekonomi pada kuartal lalu menjadi makin melemah.
(rui)