Logo Bloomberg Technoz

Dari regional, para investor di Asia masih mencermati paket stimulus terbaru dari China yang diharapkan dapat mengurangi beban utang pemerintah daerah. Namun, data menunjukkan ekspansi kredit di China melambat melebihi perkiraan pada bulan lalu. 

Reli 'Trump Trade' diprediksi masih akan berlanjut dan bisa memberi dampak kurang positif bagi aset-aset emerging market.

Kemarin, indeks saham Wall Street masih melanjutkan penguatan. Sementara kontrak berjangka Treasury terpantau turun. Pada pembukaan pasar pagi ini, yield Treasury, surat utang AS, kesemua tenor tertekan lagi di mana yield 10Y kini ada di 4,32%. Sedangkan tenor 2Y naik lebih banyak di 4,27%.

Tekanan yang kembali melanda pasar obligasi bisa memicu aksi serupa di pasar obligasi domestik. Alhasil, bila investor melakukan aksi jual lagi akibat penyempitan selisih imbal hasil, hal itu bisa turut menyeret rupiah yang kemarin sudah terbebani oleh aksi jual di pasar saham.

Dampak Trump

Tim ekonom Bloomberg Economics untuk kawasan AS, sejauh ini memperkirakan kebijakan tarif impor Trump baru akan keluar pada akhir 2025 atau awal 2026. Tim ekonom ini juga menilai, ada risiko dari tarif universal yang bisa berdampak lebih merusak bagi perekonomian negara-negara di Asia Tenggara.

"Trajektori ekspor Asia Tenggara tahun depan sepertinya masih akan utuh [stabil]. Namun, ketidakpastian tarif  kemungkinan akan menghambat belanja modal. Investasi lebih rentan terhenti di negara-negara yang lebih rentan terhadap kebijakan tarif terutama Vietnam dan pada tingkat lebih rendah yakni Thailand," kata ekonom Bloomberg Economics Tamara Mast Henderson dalam kajiannya.

Pada saat yang sama, penguatan dolar AS akibat kebijakan-kebijakan yang potensial mengerek inflasi bangkit lagi di negeri itu, akan berdampak pada upaya pelonggaran moneter di negara-negara Asia. Kebijakan moneter dalam jangka panjang terancam akan tertahan di zona pengetatan agar bisa menopang kekuatan nilai tukar, membendung arus keluar modal asing juga menahan ekspektasi inflasi. 

"Itu akan menjadi masalah bagi Indonesia dan Filipina di mana tingkat suku bunga mereka saat ini berada 100 bps di atas tingkat bunga acuan netral," kata Henderson.

(rui)

No more pages