Laporan inflasi pada Rabu mendatang diharapkan menunjukkan indeks harga konsumen (IHK) inti tidak berubah dibandingkan dengan bulan sebelumnya, menggambarkan tekanan harga yang masih belum mereda sepenuhnya menjelang target bank sentral AS atau Federal Reserve (The Fed).
Pada Senin, S&P 500 naik tipis 0,1% mendekati angka 6.000 dan mencatat rekor ke-51 tahun ini. Sementara Nasdaq 100 bergerak stabil. Indeks Dow Jones Industrial Average mencatat kenaikan sebesar 0,7%.
Selain itu, kontrak berjangka Treasury sedikit lebih rendah karena pasar ditutup karena hari libur AS. Indeks dolar Bloomberg naik 0,5% di tengah melemahnya harga minyak akibat proyeksi permintaan yang rendah di China.
Investor Asia mencermati paket stimulus terbaru dari China yang diharapkan dapat mengurangi beban utang pemerintah daerah. Namun, data menunjukkan ekspansi kredit di China melambat melebihi perkiraan pada bulan lalu. Pada Senin, indeks Hang Seng di Hong Kong mengalami penurunan hingga 2,9%, dengan saham properti dan sektor konsumen memimpin penurunan tersebut. Indeks CSI 300 bergejolak, sementara kontrak berjangka pada Selasa (12/11/2024) menunjukkan bahwa indeks tersebut mungkin turun sekitar 0,6% setelah pembukaan.
Di Jepang, Perdana Menteri Shigeru Ishiba menjanjikan dukungan lebih dari US$65 miliar bagi sektor semikonduktor dan kecerdasan buatan. Dukungan ini bertujuan mempercepat revitalisasi ekonomi Jepang, dengan contoh sukses seperti pabrik chip TSMC di Kumamoto yang diharapkan bisa diterapkan di seluruh negeri. Dia juga berharap bantuan untuk sektor tersebut akan berfungsi sebagai katalisator untuk menghasilkan investasi publik dan swasta lebih dari ¥50 triliun selama 10 tahun ke depan.
Reli Trump
Di AS, menurut analisis JPMorgan Chase & Co, bursa saham diperkirakan akan mengalami penguatan hingga akhir tahun setelah kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden, bahkan lebih kuat dibandingkan reli saat kemenangannya delapan tahun yang lalu.
"Saya perkirakan keuntungan pada tahun 2024 akan lebih besar dibandingkan dengan tahun 2016," tulis Andrew Tyler, kepala divisi intelijen pasar AS di JPMorgan, dalam sebuah catatan kepada klien pada hari Senin. Menurutnya, salah satu faktor pendorong utama bagi indeks S&P 500 adalah melemahnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara lain seperti China, Inggris, Uni Eropa, Kanada, dan Meksiko, yang seluruhnya mengalami perlambatan ekonomi yang lebih signifikan dibandingkan dengan tahun 2016.
Optimisme ini juga digaungkan oleh Ed Yardeni, seorang ahli strategi pasar veteran. Ia memperkirakan bahwa kebijakan ekonomi Presiden terpilih Trump akan mendorong "semangat membara" yang mampu membawa indeks S&P 500 menuju level 10.000 pada akhir dekade ini, yang mencerminkan potensi kenaikan hingga 66% pada tahun 2030.
Prediksi Yardeni mencerminkan semakin kuatnya optimisme Wall Street terhadap pasar saham AS setelah pemilihan presiden. Sebagai tanda optimisme tersebut, ia menaikkan target S&P 500 menjadi 6.100 untuk akhir tahun 2024, 7.000 untuk tahun 2025, dan 8.000 untuk tahun 2026.
"Investor saham juga sangat antusias dengan adanya perubahan menuju pemerintahan yang lebih pro-bisnis, yang mendorong kebijakan pemotongan pajak dan deregulasi," tulis Yardeni dalam catatannya pada Senin.
(bbn)