"Mengenai aturan bahwa KUR tidak termasuk lingkup kredit macet yangg dapat diputihkan, menurut saya ini juga sudah tepat. Pemutihan kredit UMKM yang macet sebaiknya memang dibatasi, agar tidak menimbulkan moral hazard baik dari sisi debitur maupun bank penyalur," ujar Pengamat Perbankan sekaligus Chief Economist The Indonesia Economic Intelligence (IEI) Sunarsip.
Sunarsip merinci bahwa KUR adalah kredit program pemerintah, yang risikonya juga telah ditanggung oleb pemerintah melalui penjaminan. "Jadi, dari sisi nasabah sebenarnya dengan kredit mereka dijaminkan maka nasabah juga relatif tidak menanggung risiko," jelasnya.
Namun dia menyarankan agar posisi bank penyalur yang perlu dipertegas. Misal, kalau seandainya KUR tersebut macet, maka status debiturnya juga semestinya tetap perlu dipulihkan.
"Agar terjadi equality dengan debitur non KUR. Sehingga, ke depan baik debitur maupun bank penyalur tetap berpeluang untuk membangun kerjasama pembiayaan kembali, meskipun tentunya bank akan tetap selektif dalam menyalurkan pembiayaan kepada debitur KUR yang pernah berstatus macet," ujarnya.
Berikutnya, Sunarsip juga mengatakan dengan tidak diikutkannya kredit macet dari KUR dalam program pemutihan, maka yang perlu diperhatikan adalah posisi lembaga/perusahaan penjaminan kredit UMKM, yang umumnya merupakan BUMN.
"Beban penjaminan mereka menjadi kurang terelaksasi dengan ketentuan pengecualian lingkup pemutihan kredit macet UMKM ini. Karenanya, kapasitas perusahaan penjaminan tersebut perlu diperkuat," ujarnya.
Misalnya, dengan meningkatkan rasio kemampuan penjaminan mereka dan sekaligus penguatan tingkat permodalan. "Kalau ini dilakukan, maka hal ini akan membantu turut meringankan atau merelaksasi beban penjaminan mereka. Sekaligus, langkah tersebut juga penting untuk memperkuat skala dan kapasitas penjaminan mereka terhadap kredit UMKM terutama KUR," ujarnya.
(dba)