Indonesia, lanjut keterangan pers tersebut, juga meyakini bahwa kerja sama RI-China akan mendorong penyelesaian Code of Conduct in the South China Sea yang dapat menciptakan stabilitas di kawasan.
Kerja sama ini diharapkan akan mencakup berbagai aspek kerja sama ekonomi, khususnya di bidang perikanan dan konservasi perikanan di Kawasan dengan berdasarkan kepada prinsip-prinsip saling menghormati dan kesetaraan.
Menurut Kemlu, kerja sama ini juga akan dilaksanakan dalam koridor ketentuan undang-undang (UU) dan peraturan negara masing-masing. Bagi Indonesia, tentunya kerja sama ini harus dilakukan berdasarkan sejumlah UU dan peraturan terkait, termasuk yang mengatur kewilayahan; UU ratifikasi perjanjian internasional kelautan, khususnya Konvensi Hukum Laut 1982; maupun ratifikasi perjanjian bilateral tentang status hukum perairan ataupun delimitasi batas maritim; peraturan tentang tata ruang laut serta konservasi dan pengelolaan perikanan, perpajakan, dan berbagai ketentuan lainnya.
"Semua kewajiban internasional dan kontrak-kontrak lainnya yang dibuat Indonesia yang berkaitan dengan kawasan tersebut akan tidak terpengaruh dan akan terus berlaku tanpa perubahan," tandasnya.
Sebelumnya, beberapa pakar hukum internasional mengktitik pernyataan bersama Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Xi Jinping terkait LCS. Pakar tersebut adalah Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana dan Guru Besar Hukum Iinternasional Universitas Diponegoro (Undip) Eddy Pratomo.
Keduanya menilai bahwa dengan adanya pernyataan bersama 9 November lalu itu, artinya Indonesia telah mengakui wilayah tumpang tindih (overlapping claims) oleh China atas LCS, khususnya Laut Natuna Utara.
Hikmahanto bahkan menyebut China-lah yang justru akan mendapat keuntungan besar, jika joint development dengan China di area Natuna Utara itu benar-benar direalisasikan.
"Bahkan China bisa mengklaim Indonesia telah jatuh di tangannya, suatu hal yang tidak sesuai dengan pernyataan Presiden Prabowo dalam pidato pertama sebagai Presiden di depan MPR," bebernya.
Padahal saat itu, Prabowo menyatakan bahwa Indonesia menerapkan sistem politik bebas aktif dan tidak akan memihak negara adidaya mana pun.
Eddy pun memperingatkan bahwa pernyataan bersama itu merupakan tindakan unilateral yang bersifat mengikat vis a vis China. Dalam hal ini, Indonesia akan sulit mengubah kembali posisi hukumnya karena adanya prinsip hukum internasional; estoppel, yang melarang suatu negara mengklaim sesuatu yang bertentangan dengan yang sudah diakui sebelumnya.
Menurut Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila itu, keberhasilan China memperoleh pengakuan dari Indonesia akan dikapitalisasi oleh Negeri Tirai Bambu itu untuk mendesak negara-negara “claimants” lainnya agar menerima 9DL. Akibatnya, akan memperlemah posisi ASEAN yang selama ini menolak klaim China tersebut.
(ros)