Dengan kata lain, agar guncangan akibat faktor eksternal tidak makin menyeret perekonomian ke depan, kinerja konsumsi domestik perlu segera 'diselamatkan' supaya tidak makin terpuruk.
Hasil Survei Konsumen bulan Oktober, mempertegas wajah kelesuan perekonomian RI yang hanya tumbuh 4,95% pada kuartal III-2024.
Semua kelas konsumen mencatat penurunan penghasilan terindikasi dari Indeks Penghasilan Saat Ini yang anjlok terutama dialami oleh kelompok pengeluaran menengah Rp3,1 juta hingga Rp5 juta per kapita per bulan.
Kondisi penghasilan yang memburuk membuat animo belanja untuk barang tahan lama (durable goods) yang menjadi salah satu indikator daya beli dalam perekonomian, juga ikut terpuruk ke level terendah sejak Maret 2023.
Pangkal dari kondisi keterpurukan konsumsi masyarakat Indonesia saat ini, bila melacak ke belakang data Survei Konsumen, adalah karena ketersediaan lapangan kerja yang sempit.
Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja pada Oktober anjlok 10,9% dibanding posisi setahun sebelumnya dan anjlok 3,2% dibanding bulan September lalu.
Melacak jauh ke belakang, ketersediaan lapangan kerja di Indonesia saat ini bahkan dinilai sebagai yang tersempit sejak April 2022 lalu atau dalam hampir tiga tahun terakhir.
Kelompok konsumen dengan nilai pengeluaran menengah keluar sebagai kelompok yang paling merasakan seretnya mendapatkan pekerjaan layak di Indonesia saat ini.
Keterangan | Okt 2023 | Des 2023 | Sept 2024 | Okt 2024 | YoY (%) | MoM (%) |
Indeks Keyakinan Konsumen | 124.8 | 123.8 | 123.5 | 121.1 | -2.9% | -1.9% |
Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini | 114.4 | 113.6 | 113.9 | 109.9 | -3.9% | -3.5% |
- Indeks Penghasilan Saat ini | 116.4 | 115.2 | 122.4 | 117.9 | +1,28% | -3,67% |
- Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja | 117.5 | 112.7 | 108.2 | 104.7 | -10,9% | -3,23% |
- Indeks Pembelian Barang Tahan Lama | 110.2 | 113.0 | 111.2 | 107.0 | -2,90% | -3,77% |
Indeks Ekspektasi Konsumen | 134.2 | 133.9 | 133.1 | 132,4 | -1,34% | -0,52% |
- Indeks Ekspektasi Penghasilan | 135.7 | 139.7 | 138.2 | 138.4 | +1,98% | +0,14% |
- Indeks Ekspektasi Ketersediaan Lapangan Kerja | 134.0 | 129.9 | 131.1 | 129.5 | -3,35% | -1,22% |
- Indeks Ekspektasi Kegiatan Usaha | 132.8 | 132.9 | 130.1 | 129.2 | -2,71% | -0,69% |
Sumber: Survei Konsumen Oktober 2024, Bank Indonesia
Kondisi ekonomi saat ini yang memburuk dengan penurunan indeks hingga 4%, terutama di kelompok konsumen menengah, pada akhirnya menyeret ekspektasi masyarakat terhadap kondisi ekonomi enam bulan ke depan.
Responden yang disurvei menilai, kondisi ekonomi domestik enam bulan ke depan akan lebih buruk dibanding saat ini. Terutama karena ketersediaan lapangan kerja yang masih sempit dan kegiatan usaha yang memburuk.
Kelompok konsumen dengan pengeluaran menengah yakni antara Rp3,1 juta hingga Rp5 juta, menjadi yang paling menurun optimisme-nya akan kondisi penghasilan ke depan. Kelompok ini juga yang menilai lapangan kerja di masa mendatang akan lebih sulit dibanding saat ini yang sebenarnya sudah sempit.
Sementara kegiatan usaha enam bulan ke depan, diperkirakan lebih lesu terutama oleh kelompok konsumen terbawah (Rp1 juta-Rp2 juta), menengah (Rp3,1 juta-Rp4 juta) dan teratas (lebih dari Rp5 juta).
Terkuras konsumsi
Hasil Survei Konsumen termutakhir juga memperlihatkan perkembangan kondisi keuangan masyarakat Indonesia pada Oktober.
Mengacu pada pembagian alokasi, terlihat bahwa pengeluaran masyarakat makin banyak terkuras untuk kebutuhan konsumsi. Itu terjadi di hampir semua kelompok konsumen, kecuali kelompok konsumen dengan pengeluaran teratas yakni lebih dari Rp5 juta per orang per bulan.
Pada saat yang sama, alokasi pengeluaran masyarakat Indonesia untuk tabungan secara umum menyusut. Terutama terjadi pada konsumen bawah, menengah atas dan atas.
Sedangkan konsumen menengah dengan nilai pengeluaran Rp3,1 juta-Rp4 juta masih naik pengeluaran untuk tabungan, mengindikasikan situasi yang dinilai memburuk mendorong kalangan ini berhemat dan memperbanyak tabungan.
Sementara itu, pengeluaran untuk cicilan utang secara umum menurun, kecuali pada konsumen dengan pengeluaran Rp4,1 juta hingga di atas Rp5 juta.
Setengah pengangguran melonjak
Hasil Survei Konsumen terbaru itu melengkapi sekian banyak daftar data yang memperlihatkan perekonomian domestik saat ini tengah bergulat dalam kelesuan.
Kondisi manufaktur masih tertekan, terindikasi dari kontraksi selama empat bulan beruntun, disinyalir telah memantik gelombang Pemutusan Hubungan Kerja makin banyak.
Sektor-sektor yang padat karya seperti industri tekstil atau alas kaki, menjadi yang paling menderita akibat pelemahan permintaan domestik maupun ekspor.
Alhasil, angka PHK makin tinggi. Sampai Oktober, kasus PHK yang tercatat melonjak 31% dibanding tahun lalu, mendekati 60.000 kasus.
Meski pemerintah melaporkan angka terakhir Tingkat Pengangguran Terbuka turun yakni jadi 4,91%, namun penting untuk dicermati bahwa angka Setengah Pengangguran (underemployment) naik ke level 8% dari tadinya baru sebesar 6,68%.
Tingkat Setengah Pengangguran itu menjadi yang tertinggi sejak Agustus 2021 ketika persentasenya mencapai 8,71%.
Setengah Pengangguran, dahulu disebut sebagai Pengangguran Terpaksa, mengacu pada mereka yang bekerja kurang dari 35 jam dalam seminggu dan saat ini masih mencari pekerjaan tambahan atau pekerjaan lebih layak.
"Hal ini berarti dari 100 penduduk bekerja terdapat sekitar 8 orang yang termasuk Setengah Penganggur. Dibandingkan Agustus 2023, tingkat setengah pengangguran mengalami kenaikan sebesar 1,32 poin persentase," kata laporan BPS.
'Hapus Tagih' dan Perjalanan Dinas
Kelesuan ekonomi domestik sebenarnya membutuhkan kebijakan pelonggaran moneter dari bank sentral. Namun, kerentanan rupiah akibat potensi keperkasaan dolar AS pasca Donald Trump terpilih jadi Presiden AS, bisa membatasi ruang Bank Indonesia menurunkan BI rate. Padahal inflasi sudah sangat rendah di bawah median target inflasi BI tahun ini.
Dukungan kebijakan fiskal menjadi sangat ditunggu. Sejak dilantik secara resmi pada 20 Oktober lalu, Pemerintahan Prabowo sejauh ini baru berada di tahap merencanakan sejumlah kebijakan yang diarahkan untuk membangkitkan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah.
Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional Mari Elka Pangestu, setelah pertemuan dengan Presiden Prabowo Subianto pekan lalu, mengungkapkan, pemerintah membahas tentang pertumbuhan ekonomi yang melemah dan berencana menyiapkan sejumlah kebijakan untuk membangkitkan lagi daya beli masyarakat, yang bisa diterapkan pada kuartal ini.
Sementara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bilang, pemerintah menyiapkan insentif untuk investasi di sektor padat karya.
"Pemerintah juga sedang mempersiapkan pemanfaatan dana dari jaminan kecelakaan kerja dan mendorong kewirausahaan melalui KUR [Kelompok Usaha Rakyat],” kata Airlangga.
Selain itu, beberapa kebijakan insentif fiskal yang sebelumnya sudah diberikan, akan dilanjutkan. Seperti kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor properti, PPnBM kendaraan listrik, penambahan kuota rumah subsidi, hingga perbaikan pemanfaatan tunjangan PHK.
Yang terbaru, pemerintah merilis kebijakan penghapusan piutang macet (hapus tagih) sektor UMKM senilai Rp10 triliun.
“Ini merupakan kebijakan strategis untuk mendorong sektor-sektor yang berperan penting terhadap ketahanan pangan dan perekonomian nasional. Dengan berlakunya kebijakan ini, diharapkan para pelaku UMKM di bidang tersebut dapat meneruskan usaha,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Selain itu, di lingkup internal pemerintahan, Bendahara Negara telah merilis Surat Edaran baru yang memerintahkan agar perjalanan dinas para Menteri dan pejabat negara dihemat minimal sebesar 50%.
(rui)