Di Asia, investor tertekan imbas kabar terbaru Ekonomi China yang mengecewakan, juga rilis inflasi yang lemah. Pertemuan legislatif tingkat tinggi ternyata mengecewakan para investor yang berharap akan adanya stimulus tambahan dengan skala besar untuk mendongkrak Ekonomi dan menyelesaikan siklus deflasi.
Seperti yang diwartakan Bloomberg News, data Ekonomi China yang dirilis baru menggarisbawahi urgensi untuk lebih banyak upaya pro-pertumbuhan, dengan pertumbuhan Harga Konsumen masih mendekati nol dan harga-harga di tingkat pabrik terus melemah.
Tekanan juga datang dari Investasi Asing Langsung (Foreign Direct Investment/FDI) merosot di tengah ketegangan geopolitik, persaingan dari industri dalam negeri, dan kegelisahan atas prospek Ekonomi negara ini.
Inflasi Harga Konsumen melambat dan mendekati nol pada Oktober, menunjukkan bahwa putaran stimulus terbaru Pemerintah masih jauh dari cukup untuk membebaskan ekonomi dari cengkeraman deflasi.
“Banyak yang merasa bahwa China menyimpan taktiknya untuk sementara waktu hingga negosiasi tarif Trump-China mulai berlaku, dan mereka dapat merespons dengan cara yang lebih terarah untuk membendung kemungkinan kejatuhan ekonomi,” tulis Chris Weston, Kepala Penelitian di Pepperstone Group di Melbourne dalam catatannya.
Investor kini mulai menilai seberapa cepat Trump akan menerapkan kebijakan fiskal dan proteksionisme perdagangannya, termasuk tarif yang diusulkan terhadap China.
“Langkah pasar selanjutnya akan bergantung pada apakah Trump memprioritaskan pemotongan pajak atau menaikkan tarif, yang masing-masing memiliki dampak yang sangat berbeda,” papar Tony Sycamore, Analis di IG Markets di Sydney.
UBS AG., Bank investasi unggulan di pasar keuangan global, memangkas proyeksi pertumbuhan 2025 untuk China setelah Trump menang Pilpres AS, memperkirakan ekspansi ‘hanya’ di 4% untuk 2025, juga dengan laju yang ‘jauh lebih rendah’ pada 2026.
(fad/aji)