Menurut Ronny, setelah pertumbuhan ekonomi diumumkan hanya 4,95% pada kuartal III-2024, sebaiknya pemerintah memikirkan ulang untuk melakukan peralihan subsidi energi pada tahun ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2024, yang menjadi motor utama pendorong ekonomi domestik, terkontraksi -0,48% secara kuartalan atau quarter to quarter (qtq). Angka itu tergerus dibandingkan kuartal II-2024 yang masih tumbuh 3,12% qtq.
Secara tahunan, kinerja konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2024 melambat jadi hanya tumbuh 4,91% secara tahunan atau year on year (yoy), dibandingkan dengan 4,93% pada kuartal sebelumnya.
"Mungkin dipertimbangkan untuk tahun depan, setelah kondisi daya beli masyarakat benar-benar terlihat mulai pulih, karena imbas dari pencabutan subsidi adalah kenaikan harga jual BBM. Kalau harga BBM naik, maka harga-harga barang dan jasa akan ikut naik, karena selama ini BBM dianggap sebagai pengendali harga," ujarnya.
Kenaikan harga barang-barang ini akan membuat daya beli makin tertekan, yang akan memaksa para kelompok buruh dan pekerja untuk meminta menaikkan upah lebih tinggi lagi.
"Kalau itu terjadi, maka investor akan kelimpungan dan investasi akan melambat, lalu kembali menekan pertumbuhan ekonomi di satu sisi dan mengganggu penyerapan tenaga kerja baru di sisi lain, karena investasi melambat," ujarnya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia sebelumnya menjelaskan pemerintah masih melakukan kajian secara mendalam ihwal skema subsidi energi, seperti BBM, gas minyak cair atau liquefied petroleum gas (LPG), dan listrik.
Bahlil mengatakan penyaluran subsidi energi dari sistem kuota menjadi berbasis BLT menjadi salah satu opsi yang dibahas dan bakal lebih mengerucut ke skema tersebut. Namun, Bahlil membuka peluang masih ada subsidi yang diberikan dengaan berbasis pada komoditas.
"Jadi subsidi tetap ada; cuma ada yang berbentuk cash, dan ada yang berbentuk barang," ujar Bahlil dalam konferensi pers di kantornya pada Senin (4/11/2024).
Ketika ditanya apakah harga Pertalite bakal dilepas mengikuti harga pasar, Bahlil tidak mengonfirmasi dengan gamblang dan mengatakan tengah melakukan pengkajian terhadap semua opsi yang ada.
"Kita lagi mengkaji opsinya semuanya ya, nanti kalau sudah dapat opsinya, baru kita umumkan, karena ini kita harus hati-hati," ujarnya.
Menurutnya, hal ini didasarkan pada pertimbangan berupa inflasi, lapangan pekerjaan, dan pertumbuhan ekonomi.
(dov/wdh)