Mengutip riset terbaru Celios bertajuk Skenario UMP 2025 terhadap Perekonomian Indonesia, lembaga tersebut merekomendasikan skenario bahwa kenaikan upah minimum sebesar 10% akan berbanding lurus dengan pertambahan konsumsi rumah tangga senilai Rp67,23 triliun.
“Konsumsi rumah tangga ini dihasilkan dari konsumsi pekerja dan dampak berganda yang ditimbulkan dari kenaikan konsumsi. Pelaku UMKM mendapatkan dampak positif dari kenaikan konsumsi pekerja yang lebih besar,” terang Bhima.
Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda menambahkan hasil modelling lembaganya menunjukkan adanya kenaikan PDB hingga Rp122,2 triliun apabila pertumbuhan upah minimum tahun depan sebesar 10% atau lebih tinggi dari formulasi Peraturan Pemerintah (PP) No. 51/2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 36/2021 tentang Pengupahan.
Jika pemerintah menggunakan skenario penghitungan upah berdasarkan PP No. 78/2015, di mana kenaikan upah adalah pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi, dampaknya ke kenaikan PDB hanya Rp106,3 triliun.
“Masih relatif kecil dampaknya [jika dibandingkan dengan kenaikan UMP sebesar 10%]. Sementara itu, jika menggunakan alpha yang ada pada PP No. 51/2023 hanya didapatkan kenaikan PDB sebesar Rp19,32 triliun,” kata Huda.
Kesempatan Kerja
Kenaikan upah minimum yang lebih tinggi juga dinilai akan membawa dampak kepada pendapatan tenaga kerja dan pelaku usaha.
"Selisih dampak skenario kenaikan upah lumayan besar. Begitu juga dengan dampak ke serapan tenaga kerja jika upah minimum naik 10% hingga 1,19 juta orang pada 2025, sementara formula PP No. 51/2023 hanya bisa dorong 188.000 kesempatan kerja baru,” klaim Huda.
Pada saat bersamaan, dia meyakini bakal terjadi kenaikan surplus usaha mencapai Rp71,08 triliun jika upah minimum meningkat sebesar 10%. Kenaikan surplus usaha ini didapatkan dari konsumsi rumah tangga yang meningkat dan perputaran uang yang lebih cepat.
"Skenario kenaikan upah minimum 10% pada 2025 akan berkontribusi pada kualitas pertumbuhan ekonomi melalui penurunan angka kemiskinan ke 8,94% dibandingkan dengan formula sebelumnya hanya berpengaruh sebesar 0,01%,” lanjutnya.
Dia juga menekankan bahwa kenaikan upah minimum pada 2025 akan menentukan apakah pertumbuhan ekonom Indonesia mampu tumbuh di atas 5% atau justru makin mengalami tekanan konsumsi rumah tangga dan memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
Berisiko Tinggi
Berbeda pandangan dengan tim Celios, ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai kenaikan UMP 2025 sebaiknya berada di rentang 3%—5%, jauh di bawah permintaan serikat pekerja di kisaran 8%—10%. Namun, proyeksi tersebut dinilai lebih ideal dan adil bagi kesehatan iklim usaha maupun kesejahteraan buruh.
Dengan mempertimbangkan kinerja ekonomi dan tren kenaikan upah minimum 5 tahun terakhir, menurutnya, permintaan kenaikan sebesar 10% tidaklah tepat diberlakukan pada 2025.
“Pertimbangnan kenaikan UMP [2025] adalah inflasi 2024 dan pertumbuhan ekonomi. Namun, kita harus berhati-hati dalam memasukkan faktor pertumbuhan ekonomi ini, karena komponen yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi ini sangat banyak dan tidak semuanya terkait dengan produktivitas tenaga kerja,” terangnya saat dihubungi Bloomberg Technoz.
Pada kenyataannya, menurut Wijayanto, sektor industri manufaktur—yang banyak menyerap tenaga kerja — justru mengalami perlambatan pertumbuhan dan kinerja.
Hal itu tecermin dari Indeks PMI S&P Global terhadap manufaktur Indonesia yang berada di titik 49,2 untuk periode Oktober, stagnan dari bulan sebelumnya. PMI di bawah 50 mencerminkan aktivitas yang berada di zona kontraksi, tidak ekspansi.
Dengan demikian, aktivitas manufaktur Indonesia sudah berada di zona itu sejak Juli dan belum mampu bangkit.
Dengan kondisi manufaktur yang sedang babak belur, Wijayanto berpendapat, kenaikan upah pekerja yang terlalu drastis justru bakal memicu lebih banyak tendensi pelaku industri melakukan PHK massal.
“Atau, mereka akan bergeser ke pendekatan industri berbasis modal, [tidak lagi padat karya], yang tidak menyerap banyak tenaga kerja [lantaran beban upahnya makin mahal],” terang Wijayanto.
Lebih lanjut, dia menjelaskan formula kenaikan UMP—yaitu inflasi + (pertumbuhan PDB x indeks tertentu) — masih bisa dipakai, tetapi penentuan nilai indeks tertentu yang digunakan haruslah bijak dan adil.
“Dengan inflasi 2024 diperkirakan 2% dan pertumbuhan ekonomi sekitar 5%, kenaikan UMP 2025 sekitar 3%—5% bisa diterima [lebih realistis],” tutur Wijayanto.
Idealnya, sambung Wijayanto, formulasi penentuan upah minimum bukan didasari oleh inflasi dan pertumbuhan PDB, tetapi inflasi dan pertumbuhan indeks produktivitas buruh.
Dengan demikian, formula UMP yang dia sarankan adalaah UMP = inflasi + (kenaikan indeks produktivitas buruh x faktor tertentu). Faktor tertentu diperlukan untuk memisahkan kenaikan produktivitas akibat tenaga kerja dan akibat barang modal/mesin/peralatan.
“Sayangnya, data BPS terkait dengan indeks produktivitas buruh ini belum teruji konsistensinya. Perlu diperbaiki untuk ikut menyelesaikan isu UMP yang terus-menerus terjadi setiap tahun,” ujarnya.
“Perkiraan saya, kenaikan UMP [2025] akan diputuskan di level 3%—5%, dan ini relatif win-win untuk situasi ekonomi kita yang tidak sedang baik-baik saja ini.”
Tiga Catatan
Wijayanto menggarisbawahi jika pemerintah ingin mendongkrak kesejahteraan buruh dengan memberikan UMP yang lebih tinggi, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, menekan biaya logistik yang saat ini masih 24% dari PDB. Jika ongkos logistik bisa diredam 4% saja, dunia usaha bisa lebih leluasa menyejahterakan buruh.
Kedua, menekan ekonomi biaya tinggi akibat praktik premanisme birkorasi. Ketiga, menurunkan suku bunga kredit dengan mendongkrak efisiensi sektor keuangan. “Jika 3 hal tersebut dilakukan, otomatis buruh akan sejahtera,” kata Wijayanto.
Untuk diketahui, dasar hukum awal penetapan UMP adalah Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 7/2013 tentang Upah Minimum. UMP ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi.
Bila mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP) No. 51/2023 tentang Pengupahan, formula perhitungan UMP yang berlaku adalah (UM t+1) berdasarkan upah minimum tahun berjalan (UM t), yang disesuaikan dengan nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Adapun formula lengkapnya adalah sebagai berikut:
UM (t+1) = UM(t) + Nilai Penyesuaian UM(t+1)
Sementara itu, nilai penyesuaian upah minimum dihitung dengan formula:
Nilai Penyesuaian UM(t+1) = {Inflasi + (PE x α)} x UM(t)
PE adalah pertumbuhan ekonomi, dan α (alpha) adalah variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi, dengan rentang nilai 0,10 hingga 0,30.
Formula ini dirancang agar bisa mencerminkan kondisi ekonomi regional, sehingga setiap provinsi mendapatkan nilai UMP yang sesuai dengan kemampuan ekonominya.
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli sebelumnya menuturkan kementerian masih menunggu hasil perhitungan final UMP, terlebih terkait dengan besaran kenaikan yang diusulkan oleh kalangan buruh.
"Kalau formulanya kan sudah ada, tetapi kan tadi saya katakan kita belum tahu hasil hitungnya seperti apa, dan kemudian kami juga tentu harus melaporkan kepada Pak Presiden [Prabowo Subianto]," jelas Yassierli ketika ditemui di Kompleks Parlemen, akhir Oktober.
Adapun, untuk perhitungannya, Yassierli menjelaskan Kemenaker menggunakan data angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi Badan Pusat Statistik (BPS) awal November. Sementara itu, pengumuman UMP wajib disampaikan oleh para Gubernur paling lambat 21 November 2024.
Sebagai informasi, BPS melaporkan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2024 tumbuh 4,95% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu atau secara yoy. Pencapaian ini melambat dari kuartal sebelumnya yang tumbuh 5,05% yoy.
(wdh)