Sinyal gamblang The Fed tentang ‘kepastian’ trayektori kebijakan bunga acuan yang akan ditentukan oleh data ekonomi berikutnya, mungkin bisa menjadi peluang bagi Bank Indonesia untuk menimbang penurunan bunga acuan di tengah inflasi yang sudah begitu rendah dan pelemahan konsumsi rumah tangga yang memperlambat laju pertumbuhan ekonomi domestik.
Ekspektasi pasar sejauh ini masih mempertahankan potensi penurunan FFR lagi pada FOMC Desember sebesar 25 bps dengan probabilitas mencapai 71%. Hal itu mendorong penurunan yield Treasury tenor pendek 2Y ke level 4,19% dari tadinya sempat menyentuh 4,26%, hari ini.
Begitu juga yield UST-10Y yang sudah lebih landai di 4,33% dari tadinya di 4,43%. Selisih yield RI dengan AS kembali melebar ke 237 bps, akan tetapi masih jauh dari 300 bps yang dianggap sebagai spread yang cukup menarik.
BI mungkin bisa berkaca dari langkah otoritas moneter Hong Kong hari ini. Memanfaatkan momentum pasar yang tengah membaik pasca FOMC, Otoritas Moneter Hong Kong (HKMA) memutuskan penurunan bunga acuan 25 bps pada Jumat pagi, demi mendukung pemulihan belanja konsumen yang telah menyeret pertumbuhan ekonomi bekas koloni Inggris itu.
Ada beberapa hal penting yang mungkin bisa mempertebal kepercayaan diri Bank Indonesia untuk memulai pelonggaran sebelum tahun ini berganti, mendahului gelombang ketidakpastian yang mungkin akan kembali besar begitu Trump dilantik resmi pada awal 2025 nanti.
Pertama, nilai cadangan devisa melimpah. Pada akhir Oktober lalu, nilai cadangan devisa RI kembali memperbarui rekor tertinggi sepanjang masa sebesar US$ 151,2 miliar.
Kenaikan cadev itu masih terjadi bahkan ketika nilai tukar rupiah tergerus 3,7% pada periode yang sama, penurunan bulanan terbesar sejak pandemi Covid-19 empat tahun lalu.
Dengan cadev masih besar, BI memiliki amunisi yang memadai untuk memastikan nilai tukar rupiah stabil di tengah volatilitas jangka pendek.
Kedua, rekam jejak rupiah di akhir tahun. Dalam lima tahun terakhir, rupiah selalu menguat setiap akhir tahun dengan kenaikan nilai rata-rata 1,2% tiap Desember. Penguatan rupiah disokong oleh tren musiman arus masuk modal asing seiring langkah window dressing para pengelola dana global.
Selain itu, bila memasukkan faktor Trump, terlihat bila tekanan yang dialami oleh rupiah sifatnya temporer. Pada saat Trump pertama kali menjadi Presiden AS dalam Pilpres November 2016, rupiah kala itu langsung tergerus hampir 4% dalam rentang 20 hari saja. Namun, begitu Trump dilantik pada Januari 2017, rupiah berangsur menguat ke level Rp13.351/US$ pada bulan itu.
Ketiga, pertumbuhan ekonomi perlu dorongan. Pengetatan moneter sejak 2022 lalu telah berdampak pada perlambatan ekonomi domestik.
Bunga global yang tinggi telah menyeret kinerja perdagangan dunia ditambah restriksi di mana-mana serta menguatnya politik dumping mitra dagang utama, berimbas pada keterpurukan industri manufaktur.
Manufaktur RI terkontraksi empat bulan terakhir dan memicu gelombang PHK yang tinggi, menyeret pelemahan daya beli masyarakat semakin rendah. Pelonggaran moneter dapat menjadi stimulasi yang dibutuhkan.
Keempat, inflasi sudah rendah. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Oktober, tercatat sebesar 1,71%, terendah sejak 2021 lalu. Angka itu sudah jauh di bawah median target inflasi Bank Indonesia tahun ini di 2,5%.
Keputusan sulit
Namun, kendati memiliki banyak alasan yang mungkin dapat mendukung keputusan pemangkasan, bank sentral juga masih menghadapi risiko tak kecil apabila menggunting bunga acuan di tengah volatilitas tajam yang masih mengintai pasar.
Selisih imbal hasil investasi RI dengan AS yang mulai melebar saat ini, belum cukup atraktif dalam menarik modal asing masuk. Artinya, arus keluar modal asing bisa dengan cepat terjadi begitu ada sentimen yang merugikan aset emerging market. Rupiah bisa menjadi korban utama.
Selama kuartal IV-2024, modal asing telah keluar US$871,6 juta quarter-to-date di ekuitas. Namun di pasar surat utang, asing sejatinya telah mencetak net buy bulanan terpanjang yakni sejak Mei hingga Oktober lalu.
Dalam pernyataannya di depan anggota DPR-RI, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan ruang penurunan suku bunga BI rate masih terbuka dengan menimbang inflasi. Namun, dalam jangka pendek, BI akan fokus menjaga stabilitas nilai tukar merespon perkembangan politik AS terkini.
“Untuk kebijakan suku bunga BI Rate, kami terus akan arahkan untuk memastikan inflasi sesuai sasaran dan dari perkiraan-perkiraan kami masih terbuka ruang untuk penurunan suku bunga,” kata Perry dalam rapat yang digelar Rabu siang lalu.
Dalam lelang Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) hari ini, untuk pertama kalinya setelah tiga lelang beruntun BI mengerek bunga diskonto instrumen tenor pendek itu, bank sentral menurunkan sedikit rate SRBI-12M jadi 7,04% dari tadinya 7,05%. Namun, BI menjual SRBI lebih banyak, hingga Rp30 triliun, tertinggi sejak Juli lalu.
Dua bank investasi asing, Citigroup dan Barclays, memperkirakan BI masih akan menahan lagi BI Rate di level saat ini, dalam RDG bulan ini.
"Dalam dua RDG terakhir, BI menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi butuh dukungan. Namun, arah bunga acuan masih bergantung pada outlook Neraca Pembayaran yang saat ini banyak disetir oleh perkembangan pasar global khususnya terkait hasil Pilpres AS," kata Helmi Arman, Ekonom Citigroup, seperti dilansir oleh Bloomberg.
Macro Strategist Mega Capital Sekuritas Lionel Priyadi menambahkan, ada potensi pelebaran defisit transaksi berjalan hingga sebesar -0,75% dari PDB pada kuartal III, makin lebar dibanding kuartal II sebesar -0,58% akibat berlanjutnya overheating perekonomian domestik.
"Kami melihat ada peningkatan risiko terjadinya twin deficit. Masalah defisit kembar yang semakin parah akan meningkatkan volatilitas rupiah, yang pada gilirannya akan mempersulit arah penurunan suku bunga BI di masa depan," kata Lionel.
Apabila volatilitas pasar global tidak berkurang setelah Pilpres AS dan proyeksi penurunan bunga The Fed pada esok hari, BI kemungkinan akan menunda penurunan suku bunga di bulan November untuk mempertahankan pergerakan rupiah pada kisaran Rp15.300-15.700/US$.
Bank Indonesia dijadwalkan akan menggelar Rapat Dewan Gubernur pada 19-20 November nanti. Pada saat itu, pelaku pasar kemungkinan akan lebih memiliki keyakinan akan arah bunga acuan The Fed pasca rilis data inflasi AS pekan depan.
(rui)