Menurut Gandjar, larangan penerimaan gratifikasi, suap, dan lain sebagainya juga berlaku kepada keluarga inti dari para pejabat negara. Dia juga menyampaikan perumpamaan seperti keluarga inti dari kepala negara yang juga mendapatkan pengawalan dari Paspampres.
Gandjar juga membantah alasan KPK yang meloloskan Kaesang telah pisah kartu keluarga atau secara administrasi dengan Gibran Rakabuming Raka yang saat itu adalah wakil presiden terpilih; dan Jokowi yang masih aktif sebagai presiden.
“Di dalam hukum tidak pernah ada riwayat konsekuensi hukum tertentu akibat pisah kartu keluarga. Belum pernah ada. Ada kasus lalu orang tidak bisa diminta pertanggung jawaban atau perbuatan itu jadi boleh, tidak dilarang kepada seseorang hanya gara-gara pisah kartu keluarga. Tidak ada,” ujar dia.
Selanjutnya, kata Gandjar, seharusnya yang melakukan klarifikasi dan mempertanggung jawabkan dugaan penerimaan gratifikasi oleh Kaesang justru bukanlah Kaesang, melainkan keluarganya yang merupakan pejabat negara, dalam hal ini adalah Presiden ke-7 yang merupakan ayahnya, Joko Widodo.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan bahwa KPK memutuskan bahwa Kaesang tak terbukti menerima gratifikasi atas penggunaan jet pribadi gratis ke Amerika Serikat.
Setidaknya terdapat dua alasan yang disampaikan oleh Ghufron terkait dengan putusan tersebut. Diantaranya adalah Kaesang tak berkaitan dengan statusnya sebagai anak presiden dan adik dari walikota Solo.
“Nebeng ini jasa, yang langsung dinikmati [Kaesang] dan bukan diperuntukkan kepada penyelenggara negaranya,” ujar Ghufron.
Alasan kedua adalah Kaesang saat ini sudah memiliki Kartu Keluarga yang terpisah dari ayah maupun kakaknya yang kala itu menjabat sebagai pejabat negara.
“Secara formil ataupun secara status personalnya beliau bukan penyelenggara negara,” ujar dia.
“Disebut terpisah itu prinsipnya secara hukum pidana, pertanggungjawaban seseorang itu bertanggung jawab atas perbuatannya masing-masing.”
(fik/frg)